Sabtu, 4 Oktober 2025

Kembali Stres Usai Minum Air Batu Petir

segelas air minum dalam kemasan Rp 2.000 untuk dicelup dengan batu ajaib Ponari

zoom-inlihat foto Kembali Stres Usai Minum Air Batu Petir
surya/sutono
Ponari akan berangkat sekolah diantar orang tuanya

TRIBUNNEWS.COM,JOMBANG - Saat Ponari mengalami kejayaan, tak hanya keluarganya yang terangkat kehidupan ekonominya. Diakui atau tidak, saat itu, peredaran uang di dusun miskin itu juga meningkat tajam. Para tetangga pun turut kecipratan berkah yang seolah tercurah begitu saja dari tingkap langit.

Saat itu, setiap hari rata-rata ada sekitar 5.000 orang berkunjung ke kampung Ponari. Kalau setiap orang membelanjakan sekitar Rp 25.000, maka ada sekitar Rp 125 juta yang beredar per hari.

Jumlah itu bahkan berlipat pada Sabtu dan Minggu, di mana jumlah pengunjung bisa mencapai 20.000. Weekend itu, banyak pengunjung dari luar kota yang datang dengan kendaraan roda empat, yang tentu saja lebih royal dalam membelanjakan uang.

Angka Rp 25.000 itu dikeluarkan pengunjung untuk beli kupon antre pengobatan Ponari Rp 5.000, titipan sepeda motor Rp 3.000, kotak amal Rp 5.000, segelas air minum dalam kemasan Rp 2.000 (untuk dicelup dengan batu ajaib Ponari), serta biaya makan-minum Rp 10.000.

Suhardi, mantan anggota Fraksi PDIP DPRD Jombang yang tinggal di Desa Balongsari, bahkan memperkirakan uang yang beredar saat itu mencapai Rp 1 miliar setiap hari. "Rata-rata pengunjung saat 20.000 orang per hari dan rata-rata membelanjakan Rp 50.000," katanya.

Tapi, seiring berjalan waktu, pengunjung dukun cilik Ponari berangsur-angsur menyusut. Meskipun hingga sekarang masih ada yang meminta air celupan batu sakti, jumlahnya sangat kecil dibanding masa jayanya dulu.

“Satu-dua orang setiap bulan masih ada saja yang ke sini meminta pengobatan,” ucap Ny Mukharomah, ibu Ponari.

Untuk biaya hidup sehari-hari, meski ada tabungan beberapa juta rupiah di bank, keluarga Ponari kini lebih banyak bergantung pada hasil pekarangan dan sawah, berupa padi dan palawija.

Merosotnya jumlah pasien yang kemudian diiringi tenggelamnya nama Ponari, menurut psikolog Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Dra Denok Wigati MSi, wajar dan bisa diprediksi.

Sebab, kisah ‘kesaktian’ Ponari itu hanya sugesti dari pasien. Menurut alumnus Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta ini, kabar tentang ‘kelebihan’ Ponari itu begitu memikat. Warga tak peduli, meski pengobatan hanya dilakukan dengan mencelup batu ke dalam air di gelas.

Apalagi saat itu ada juga pasien yang mengaku sembuh setelah minum air yang dicelupi batu Ponari. “Sugesti adalah perasaan atau pendapat tanpa kritik. Penalaran, rasio, dan logika tidak berlaku," kata Denok yang meraih gelar S2 dari Untag Surabaya.

"Mereka merasa sembuh dari sakit, meski mungkin menurut orang lain sebenarnya masih sakit,” kata Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi Undar itu.

Tapi, karena sugesti sangat kuat, jadilah hipnosis. Yang terakhir ini bisa membuat orang melakukan hal-hal di luar kendali dirinya. Orang lumpuh langsung bisa jalan. “Tapi ini tidak akan berlangsung lama. Dalam hitungan hari penyakit itu akan kambuh lagi,” katanya.

Karena penyakitnya kambuh lagi, kata Denok, lama-lama orang menjadi tidak percaya terhadap sang dukun.

Hal senada diutarakan dr Ivan Rovian MAP. Alumnus Fakultas Kedokteran Unair dan kini menjadi Kepala Unit Transfusi Darah PMI Jombang ini menyatakan, “Dalam kesembuhan seseorang, sugesti memang berpengaruh. Tapi, sangat sulit untuk menumbuhkan sugesti dan sifatnya biasanya memang tidak untuk jangka panjang."

Apa yang diungkapkan Denok dan Ivan itu sejalan dengan fakta di lapangan. Memang belum ada data pasien yang sembuh dan gagal. Tapi, sejauh pengamatan Surya, kesembuhan pasien hanya diakui pasien sendiri atau kesembuhan subyektif

Tetangga Ponari bernama Ny Nafiah (60) menyatakan bahwa anaknya, Luluk Jamilah (35), yang sudah sekitar 10 tahun mengalami gangguan jiwa, pernah minum air dari Ponari, tapi hingga kini masih terganggu jiwanya.

“Saat minum memang bisa komunikasi dan jalan-jalan dengan ayahnya. Tapi, tak lama kemudian sakit lagi,” kata istri Djamil, pensiunan guru, itu, Selasa (10/7).

Kegagalan serupa juga dialami Sutomo (35), yang juga warga Dusun Kedungsari. Sutomo yang mengalami gangguan jiwa, menurut beberapa warga, pernah dibawa adiknya, Sirwan, berobat ke Ponari.

Tapi, hingga sekarang, kondisinya tak ada perubahan. Dia tetap saja suka berteriak-teriak. Karena takut menggangu orang dia ditempatkan di gubuk yang agak jauh dari permukiman warga. (habis)

Sumber: Surya
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved