Pendidikan Profesi Guru
5 Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 2 SD Sebanyak 500 Kata sebagai Referensi
Inilah 5 studi kasus PPG 2025 kelas 2 SD sebanyak 500 kata sebagai referensi. Studi kasus meliputi 4 pertanyaan pemantik.
Penulis:
Sri Juliati
Editor:
Bobby Wiratama
Juga memberikan kegiatan pembelajaran tambahan, menumbuhkan sikap bertanggung jawab ketika anak melakukan kesalahan. Jika anak tersebut tidak ada perubahan, saya sebagai guru memanggil orang tua anak untuk menjalin kerja sama. Semua upaya dilakukan guru agar anak hiperaktif bisa berubah menjadi lebih baik lagi.
2. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 2 SD
Siswa Kesulitan Menghitung dengan Cara Bersusun
- Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?
Dalam pembelajaran Matematika, saya menemukan bahwa beberapa siswa kesulitan melakukan penjumlahan dan pengurangan dengan cara bersusun. Mereka bingung saat harus “meminjam” atau “menyimpan”. Akibatnya, banyak jawaban yang salah dan mereka menjadi enggan mengerjakan soal-soal serupa.
- Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?
Saya menyadari bahwa siswa belum memahami konsep nilai tempat secara mendalam. Saya lalu membuat media konkret berupa balok satuan, puluhan, dan ratusan yang bisa mereka gunakan untuk mempraktikkan proses perhitungan. Saya juga memberi latihan dengan cara bermain peran sebagai “tukang hitung” menggunakan koin dan kartu angka.
- Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?
Dengan pendekatan konkret, siswa lebih memahami konsep “meminjam” dan “menyimpan”. Nilai ulangan harian mereka meningkat, dan mereka lebih percaya diri dalam menyelesaikan soal bersusun.
- Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?
Saya belajar bahwa penguasaan konsep harus didahulukan sebelum siswa diminta menyelesaikan soal abstrak. Media konkret sangat membantu dalam tahap awal pembelajaran Matematika di kelas rendah.
3. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 2 SD
Siswa Tidak Percaya Diri Saat Presentasi di Depan Kelas
- Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?
Saat diminta untuk bercerita di depan kelas, sebagian besar siswa merasa malu dan takut. Mereka lebih memilih diam, menunduk, atau bahkan menangis. Hal ini membuat keterampilan berbicara mereka kurang berkembang.
- Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?
Saya mulai dengan memberi mereka latihan berbicara dalam kelompok kecil, lalu berpasangan, hingga akhirnya di depan kelas. Saya selalu memberi pujian atas keberanian mereka, bukan hanya isi cerita. Saya juga menggunakan boneka tangan dan alat bantu visual untuk membantu siswa merasa lebih percaya diri.
- Apa hasil dari Upaya Anda tersebut?
Siswa perlahan menunjukkan keberanian berbicara. Mereka senang saat mendapat giliran bercerita dan mulai berekspresi secara lisan dengan lebih baik. Beberapa siswa bahkan meminta tambahan waktu untuk tampil.
- Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?
Saya menyadari bahwa keberanian berbicara adalah keterampilan yang harus dilatih sejak dini. Dukungan emosional dari guru dapat menjadi kunci untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa.
4. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 2 SD
Mengatasi Perilaku Menangis dan Cemas Berlebihan di Sekolah
- Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?
Saya menghadapi seorang siswa kelas 2 yang seringkali menangis berlebihan karena hal-hal kecil, seperti tidak sengaja menumpahkan air, kesulitan mengerjakan tugas, atau bahkan saat melihat teman lain menangis. Tangisannya bisa berlangsung lama dan sulit ditenangkan, mengganggu suasana kelas dan membuat Lani sulit belajar. Orang tuanya mengatakan sang anak memang cemas dan sensitif.
- Bagaimana upaya Anda untuk menyelesaikannya?
- Menciptakan Ruang Aman Emosional: Saya menyiapkan "pojok tenang" di kelas dengan beberapa buku cerita dan bantal, di mana anak tersebut (atau siswa lain) bisa pergi sejenak untuk menenangkan diri jika merasa sangat tertekan.
- Mengajarkan Regulasi Emosi Sederhana: Saya mengajarkan teknik "napas pelangi" (menghirup napas dalam-dalam seolah mencium pelangi, lalu mengembuskan perlahan). Saya juga menyediakan "kartu perasaan" bergambar ekspresi wajah agar ia bisa menunjukkan perasaannya tanpa harus bicara.
- Memberikan Validasi Emosi: Ketika siswa tersebut menangis, saya mendekatinya dengan tenang, memvalidasi perasaannya ("Tidak apa-apa, Ibu tahu kamu sedih/kesal"), lalu menawarkan bantuan atau solusi, daripada langsung melarang tangisan.
- Fokus pada Solusi, Bukan Masalah: Setelah ia sedikit tenang, saya membimbingnya untuk memikirkan solusi atas masalahnya. "Jika air tumpah, apa yang bisa kita lakukan?" atau "Jika sulit mengerjakan tugas ini, bagian mana yang bisa Ibu bantu?"
- Komunikasi dan Konsistensi dengan Orang Tua: Saya bekerja sama erat dengan orang tua sang anak, menyamakan strategi penenangan di rumah dan sekolah. Kami sepakat untuk memberikan afirmasi positif saat Lani menunjukkan ketenangan atau kemandirian.
- Hasil dari Upaya Tersebut:
Perlahan, frekuensi dan durasi tangisan Lani berkurang. Ia mulai menggunakan "pojok tenang" dan teknik napas yang diajarkan. Kemampuannya untuk menenangkan diri sendiri sedikit demi sedikit meningkat. Ia juga mulai lebih mampu mengidentifikasi perasaannya dan mengomunikasikannya dengan saya. Lingkungan kelas menjadi lebih kondusif karena intervensi saya yang tepat.
- Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?
Pengalaman ini mengajarkan saya pentingnya memahami dan memvalidasi emosi anak, bukan menyepelekannya. Guru perlu menjadi pemandu emosi dan mengajarkan keterampilan regulasi emosi dasar sejak dini. Pendekatan yang sabar, empati, dan konsisten sangat krusial dalam membantu anak mengatasi kecemasan. Setiap siswa memiliki kebutuhan emosional yang berbeda, dan tugas guru adalah menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental dan emosional mereka.
5. Studi Kasus PPG 2025 untuk Kelas 2 SD
Mengatasi Perilaku Menyontek atau Menjiplak
- Permasalahan apa yang pernah Anda hadapi?
Saya menghadapi situasi di mana beberapa siswa kelas 2 SD menunjukkan perilaku menyontek atau menjiplak tugas teman, terutama pada tugas menggambar atau mewarnai, dan kadang dalam menyelesaikan soal matematika sederhana. Mereka belum sepenuhnya memahami konsep integritas dan kejujuran dalam konteks akademik, melainkan cenderung melihatnya sebagai cara cepat untuk mendapatkan hasil yang sama dengan teman.
- Bagaimana Upaya Saya untuk Menyelesaikannya?
- Diskusi Konsep Kejujuran dan Integritas: Saya tidak langsung menghukum, melainkan memulai dengan diskusi kelas tentang pentingnya kejujuran. Menggunakan cerita atau ilustrasi yang sesuai usia, saya menjelaskan mengapa jujur itu baik dan mengapa menyontek itu tidak adil bagi diri sendiri dan orang lain. Saya menekankan bahwa setiap usaha itu berharga, terlepas dari hasilnya. Ini adalah penanaman nilai sesuai Kode Etik Guru.
- Fokus pada Proses, Bukan Hanya Hasil: Dalam memberikan tugas, saya menggeser fokus dari sekadar "nilai benar" menjadi "usaha dan proses belajar." Misalnya, untuk tugas menggambar, saya memuji kreativitas dan usahanya, bukan hanya kerapian atau kesamaan dengan gambar teman. Untuk matematika, saya meminta mereka menunjukkan cara berpikirnya, bukan hanya jawabannya.
- Aturan Kelas yang Jelas dan Konsekuensi Logis: Saya membuat aturan kelas yang jelas tentang kejujuran dan konsekuensinya, yang disepakati bersama siswa. Konsekuensinya bersifat edukatif, misalnya, jika menyontek, mereka harus mengulang tugas itu sendiri atau menjelaskan mengapa ia melakukannya, bukan langsung mendapat nilai jelek.
- Memberikan Waktu Cukup dan Bantuan yang Tepat: Saya memastikan siswa memiliki waktu yang cukup untuk menyelesaikan tugas dan saya selalu ada untuk membantu jika mereka kesulitan. Ini mengurangi alasan mereka untuk menyontek karena merasa tidak mampu.
- Penataan Tempat Duduk: Saat ujian atau tugas individu, saya mengatur ulang tempat duduk siswa agar tidak terlalu dekat dengan teman yang cenderung mereka jiplak.
- Pujian untuk Usaha Jujur: Saya memberikan apresiasi yang besar kepada siswa yang menunjukkan kejujuran, bahkan jika hasilnya belum sempurna. "Ibu sangat bangga kamu mengerjakan ini sendiri, itu hebat sekali!"
- Hasil dari Upaya Tersebut:
Perilaku menyontek atau menjiplak berkurang secara signifikan. Siswa mulai menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya kejujuran dan nilai dari usaha mereka sendiri. Mereka menjadi lebih percaya diri dengan hasil kerja mereka, bahkan jika ada kesalahan. Suasana kelas menjadi lebih jujur dan kompetisi yang tidak sehat berkurang.
- Pengalaman berharga apa yang bisa Anda petik ketika menyelesaikan permasalahan tersebut?
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa penanaman nilai integritas harus dimulai sejak dini dan dilakukan secara berulang. Hukuman saja tidak cukup; pemahaman dan internalisasi nilai adalah kuncinya. Guru harus menjadi teladan dalam kejujuran dan fokus pada proses belajar siswa. Penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kejujuran dan di mana siswa merasa aman untuk membuat kesalahan, sehingga mereka tidak merasa perlu menyontek.
*) Disclaimer: Contoh studi kasus PPG 2025 sebanyak 500 kata untuk jenjang SD kelas 2 dalam artikel ini hanya sebagai referensi bagi guru yang mengikuti bagi Guru Tertentu dalam UKPPPG 2025.
Beberapa studi kasus PPG 2025 merupakan hasil olah AI, sehingga bapak/ibu guru perlu melakukan modifikasi.
(Tribunnews.com/Sri Juliati)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.