Kamis, 2 Oktober 2025

Respons Putusan MK, Pemerintah Bakal Revisi UU Tapera

MK membatalkan kewajiban kepesertaan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). 

Penulis: Fersianus Waku
Editor: Hasanudin Aco
Fersin/Tribunnews
UU TAPERA - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, mengatakan pemerintah akan segera menyiapkan revisi terhadap beleid MK soal UU Tapera. /Foto.dok 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan kewajiban kepesertaan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). 

Pemerintah melalui Kementerian Hukum (Kemenkum) menyatakan akan segera menyiapkan revisi terhadap beleid tersebut.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan meski putusan MK bersifat inkonstitusional bersyarat, pemerintah diberi waktu selama dua tahun untuk memperbaiki aturan tersebut.

"Jadi sampai dengan saat ini sebenarnya putusan MK itu, karena dinyatakan sebagai putusan yang inskonstitusional bersyarat, maka kita masih punya waktu 2 tahun untuk membenahi itu, tapi mudah-mudahan lebih cepat," kata Supratman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025).

Supratman mengungkapkan pemerintah telah mengantisipasi putusan tersebut.

Ia menyebut telah berkoordinasi dengan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Menurut dia, RUU tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR tahun 2026 dan dapat dibahas bersamaan dengan revisi UU Tapera.

"Bagi kami di Kementerian Hukum kan memang sudah mengantisipasinya bersama dengan Menteri Perumahan dan Permukiman, itu sudah menyiapkan Undang-Undang tentang Perumahan," ucap Supratman.

Bunyi Putusan MK

Dalam sidang pembacaan putusan perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, Senin (29/9/2025), MK menyatakan sejumlah pasal dalam UU Tapera bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila belum dilakukan penataan ulang sebagaimana diamanatkan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

“Menyatakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5863 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dilakukan penataan ulang sebagaimana amanat Pasal 124 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188,” sambungnya.

Untuk diketahui, skema Tapera awalnya hanya untuk pegawai negeri yang dikelola pemerintah melalui Badan Pertimbangan Tabungan PNS atau Bapertarum PNS.

Tetapi dengan lahirnya UU 4/2016 dan Peraturan Pemerintah 25/2020 juncto PP 21/2024, seluruh pekerja dan masyarakat mandiri diikutsertakan dalam penyediaan rumah tersebut.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan penerapan Tapera secara seragam tidak adil bagi semua pekerja.

“Bahwa di sisi lain, sifat 'wajib' dalam Pasal 7 ayat (1) UU 4/2016 diberlakukan tanpa membedakan pekerja yang telah memiliki rumah atau belum. Kewajiban seragam bagi seluruh pekerja, termasuk mereka yang sebenarnya sudah memiliki rumah atau masih mencicil rumah, menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional,” ujar Enny.

Meski demikian, Mahkamah menolak untuk sekadar mengubah kata "wajib" menjadi "dapat". Alasannya, perubahan itu justru akan merusak keseluruhan logika hukum UU Tapera.

“Apabila sifat 'wajib' tersebut berubah menjadi 'dapat', maka keseluruhan mekanisme Tapera kehilangan logika normatifnya. Sanksi menjadi tidak berdasar, kewajiban penyetoran menjadi tidak bermakna, dan operasional kelembagaan Tapera menjadi tidak mungkin dijalankan sebagaimana tujuan pembentukan UU 4/2016,” kata Enny.

Oleh karena itu, MK menilai diperlukan penataan ulang menyeluruh terhadap desain Tapera, bukan sekadar revisi redaksional. Penataan ini harus mengacu pada Pasal 124 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Sebagai informasi, MK menggabung pemeriksaan tiga permohonan perkara pengujian materi UU Tapera. Tiga perkara dimaksud, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024.

Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, yang putusannya dikabulkan MK, diajukan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Mereka mengujikan Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), dan 72 ayat (1) UU Tapera. Pasal 9 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.

Persoalan UU Tapera

Undang-Undang Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 2016 namun statusnya kini telah berubah secara hukum.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 29 September 2025 menyebutkan bahwa Tapera bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 7 ayat (1) yang mewajibkan pekerja dan pekerja mandiri menjadi peserta Tapera dianggap sebagai “pasal jantung” dan dinyatakan inkonstitusional.

MK menilai bahwa unsur “wajib” dalam program tabungan bertentangan dengan prinsip kesukarelaan dalam hukum keuangan.

UU Tapera tetap berlaku sementara tetapi harus ditata ulang dalam waktu 2 tahun sejak putusan MK.

Selama masa transisi, kebijakan yang sudah berjalan seperti iuran untuk ASN, TNI, dan Polri masih berlaku.

Dengan demikian pekerja swasta tidak lagi diwajibkan menjadi peserta Tapera dan rencana pemberlakuan iuran Tapera untuk pekerja swasta pada tahun 2027 dibatalkan. 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved