Senin, 29 September 2025

Reformasi Polri

Komite Reformasi Kepolisian Diminta Jangan Jadi Alat Politik

pembentukan Komite Reformasi Kepolisian sebagai alat politik atau sarana untuk bagi-bagi kekuasaan demi meredam konflik.

Editor: Wahyu Aji
Tribunnews.com/Reynas Abdila
KOMITE REFORMASI POLRI - Pasukan Gegana dari Korps Brimob Polri ikut dalam upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-79 Bhayangkara di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025). Pembentukan Komite Reformasi Kepolisian disebut hanya alat politik atau sarana untuk bagi-bagi kekuasaan demi meredam konflik. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Peneliti dari Lembaga Constra, Revan Fauzano, menegaskan bahwa upaya reformasi di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) tidak memerlukan pembentukan komite baru.

Menurutnya, langkah yang lebih tepat dan efektif adalah dengan memperkuat fungsi pengawasan internal dan eksternal yang sudah ada.

Revan mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan wacana pembentukan Komite Reformasi Kepolisian sebagai alat politik atau sarana untuk bagi-bagi kekuasaan demi meredam konflik.

"Reformasi Polri seharusnya bisa dilakukan tanpa membentuk komite, melainkan perbaikan secara internal melalui peran Itwasum dan penguatan Kompolnas," ujar Revan kepada wartawan, Jumat (26/9/2025).

Secara internal, Polri telah memiliki Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) yang bertugas melakukan pengawasan, termasuk penelaahan kebijakan dan keuangan.

Sementara dari sisi eksternal, terdapat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang fungsinya mendorong Korps Bhayangkara menjadi lebih profesional dan mandiri.

Revan menyuarakan kekhawatirannya bahwa pembentukan komite baru ini dapat menjadi perpanjangan tangan politik untuk mengintervensi penegakan hukum.

“Pembentukan Komite Reformasi Polri tentunya membuat tanda tanya besar apakah ini merupakan perpanjangan tangan politik untuk campur tangan dalam penegakan hukum, apakah ini merupakan cara membagi ‘kue’ untuk pendukung atau partai politik koalisi?” tanyanya.

Lebih lanjut, Revan mengkritisi potensi tumpang tindih tugas (tupoksi) antara Komite Reformasi Kepolisian dengan Kompolnas yang sudah memiliki dasar hukum kuat dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.

“Kompolnas sudah ada untuk mengawasi kinerja dan sistem kepolisian, dan jika komite reformasi ini memiliki tugas yang serupa, lalu apa tujuan komite ini dibentuk? Hanya akan menghasilkan saling tumpang tindih tugas,” tukasnya.

Menurut peneliti lulusan Universitas Andalas ini, situasi politik saat ini, di mana hampir tidak ada partai yang berperan sebagai oposisi tegas, semakin memperkuat dugaan bahwa pembentukan lembaga baru rentan disusupi kepentingan politik. 

Ia menyoroti koalisi pemerintah yang besar dan berpotensi dengan mudah menciptakan jabatan publik untuk diisi oleh kelompoknya.

Meskipun demikian, Revan mengakui bahwa reformasi Polri adalah sebuah keniscayaan, terutama di tengah menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat. 

Namun, ia menekankan bahwa proses perbaikan tersebut harus berjalan di jalur yang benar.

"Dibutuhkan kontrol dari masyarakat dan akademisi, agar reformasi dan perbaikan dalam tubuh Polri agar prosesnya tetap on the track," katanya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan