Rabu, 1 Oktober 2025

Profil dan Sosok

Kiprah Prof. Sumitro Djojohadikusumo, yang Jejak Diplomasinya Diikuti Prabowo di Sidang Umum PBB

Menelusuri jejak sejarah ayah Presiden RI Prabowo Subianto, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, di forum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Istimewa, Instagram/prabowo
DIPLOMASI INDONESIA - Kolase Foto: Prof. Sumitro Djojohadikusumo dan Prabowo Subianto. Nama Sumitro Djojohadikusumo belakangan ini menggema ketika sang anak yang kini menjadi Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, akan menyampaikan pidato di Sidang Umum ke-80 PBB atau 80th Session of the UN General Assembly (UNGA 80) di New York, Amerika Serikat pada Selasa (23/9/2025) waktu setempat. 

TRIBUNNEWS.COM - Menelusuri jejak sejarah ayah Presiden RI Prabowo Subianto, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, di forum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Prof. Sumitro Djojohadikusumo lahir di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah 29 Mei 1917.

Sumitro menempuh pendidikan tinggi di Nederlandsche Economische Hogeschool atau Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam, Belanda pada 1935.
 
Ia juga sempat mengenyam kursus filosofi dan sejarah di University of Paris selama setahun. 

Sumitro tidak hanya dikenal sebagai bapak ekonomi dan pembangunan Indonesia, tetapi juga merupakan diplomat ulung yang berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum internasional.

Adapun nama Sumitro belakangan ini menggema ketika sang anak yang kini menjadi Presiden ke-8 RI, Prabowo Subianto, akan menyampaikan pidato di Sidang Umum ke-80 PBB atau 80th Session of the UN General Assembly (UNGA 80) di New York, Amerika Serikat pada Selasa (23/9/2025) waktu setempat.

Sejak dilantik sebagai Presiden RI bersama Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024 lalu, Prabowo Subianto memang digadang-gadang akan meneruskan warisan ekonomi dan pemikiran Prof. Sumitro Djojohadikusumo.

Sementara itu, gebrakan Prabowo yang hadir dan akan berpidato di Sidang Umum ke-80 PBB mendapat sorotan dari Wakil Menteri Luar Negeri RI tahun 2014, Dino Patti Djalal.

Menurut Dino yang juga merupakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), kehadiran Prabowo dalam sidang umum PBB mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah.

Dino memandang, Prabowo melanjutkan tradisi keluarganya sebagai pejuang diplomasi Indonesia.

“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino, dalam keterangan pers Badan Komunikasi Pemerintah, Minggu (21/9/2025).

Baca juga: Prabowo Akan Pidato di Sidang Umum PBB: Waktu, Lokasi, Urutan, dan Misi yang Dibawa

Lantas, seperti apa kiprah Sumitro dalam lika-liku diplomasi Indonesia?

Salah satu perjuangan diplomasi paling menonjol Prof. Sumitro adalah upayanya menghentikan aliran dana bantuan Amerika Serikat (AS) kepada Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia setelah proklamasi.

Hal tersebut, tertuang dalam memorandum yang ditulis Sumitro untuk pemerintah AS.

Dikutip dari laman thoughtco.com, memorandum —lebih umum dikenal sebagai memo— adalah pesan tertulis atau catatan singkat dan formal yang digunakan untuk komunikasi internal dalam bisnis atau organisasi.

Memorandum yang ditulis Sumitro isinya mengecam operasi militer atau agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia. 

Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus mencederai legitimasi PBB. 

Saat menulis memorandum ini, Sumitro masih berusia 31 tahun dan berperan sebagai Acting Head of the Indonesian Delegation to the United Nations atau Kepala Delegasi Indonesia untuk PBB.

Atas tugas dari Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno, Sumitro melakukan lobi terhadap pemerintahan Amerika Serikat (Menteri dan Departemen Luar Negeri) di Washington dan PBB di New York terkait agresi militer yang dilakukan oleh Belanda. 

Sebagai catatan, sebenarnya Belanda sudah dalam kondisi bangkrut setelah Perang Dunia II.

Negara yang terletak di Eropa Barat ini pun menggantungkan diri pada uang bantuan pemulihan kembali negara-negara Eropa Barat pasca-Perang Dunia II dari Amerika Serikat (Marshall Plan).

Akan tetapi, uang bantuan tersebut justru diduga kuat diselewengkan untuk membiayai operasi militer di Indonesia.

Dalam memorandumnya, Sumitro menyebut, aliran dana dari Amerika Serikat digunakan untuk operasi militer Belanda yang dilakukan di Indonesia setelah proklamasi RI dibacakan pada 17 Agustus 1945.

Memorandum tersebut berbunyi:

”The present Dutch military campaign has most unfortunately brought into horrible realization apprehensions that were carried for some time in the minds of all well-meaning people. In the modern history of riations only Signor Mussolini’s stab in the back in 1940 and Japan’s sudden attack on Pearl Harbor in 1941 could stand the comparison of this reprehensible Dutch act without warning.”

“There is no other alternative for the Republic of Indonesia than to lead its own life and carry on to the best of its abilities as a separate independent and sovereign state.”

“We respectfully but urgently request the United States Government to discontinue rendering American dollars to the Netherlands under the European Recovery Program or otherwise.”

Terjemahan: 

"Kampanye militer Belanda saat ini sayangnya telah menimbulkan kekhawatiran yang mengerikan yang telah lama tertanam di benak semua orang yang berniat baik. Dalam sejarah konflik modern, hanya tusukan dari belakang oleh Signor Mussolini pada tahun 1940 dan serangan mendadak Jepang di Pearl Harbor pada tahun 1941 yang dapat disamakan dengan tindakan Belanda yang tercela ini tanpa peringatan."

"Tidak ada alternatif lain bagi Republik Indonesia selain menjalani hidupnya sendiri dan melanjutkan sebaik mungkin kemampuannya sebagai negara yang merdeka dan berdaulat."

"Kami dengan hormat namun mendesak meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan pemberian dollar Amerika kepada Belanda di bawah naungan Program Pemulihan Eropa atau yang lainnya."

Selanjutnya, memorandum yang ditulis Sumitro tersebut diterbitkan di surat kabar New York Times pada 21 Desember 1948.

Adapun argumen yang disampaikan Sumitro dalam memorandum ini, bahwa bantuan dana dari Amerika Serikat kepada Belanda dipakai untuk melakukan agresi militer di Indonesia, terbukti benar adanya.

Sehingga, Menteri Luar Negeri AS saat itu, Robert A Lovett, menghentikan bantuan ekonomi kepada Belanda.

Penghentian aliran dana ini kemudian memaksa Belanda berunding dengan Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 di Den Haag, Belanda.

Sampai akhirnya, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia melalui konferensi tersebut.

Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat (RIS) resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(Tribunnews.com/Rizki A.)

Artikel ini diolah dari Kompas.com dan prabowosubianto.com

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved