Demo di Jakarta
ICJR Sebut Barang Bukti Kasus Delpedro Marhaen yang Disita Polisi Dinilai Tak Relevan
Institute for Criminal Justice Reform menyoroti barang bukti yang disita polisi dalam kasus Direktur Lokataru Delpedro Marhaen tidak relevan.
Penulis:
Ibriza Fasti Ifhami
Editor:
Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari menyoroti sejumlah barang bukti yang disita pihak kepolisian dalam kasus Direktur Lokataru Delpedro Marhaen tidak relevan dengan tindak pidananya.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) adalah lembaga kajian independen dan advokasi yang berfokus pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum di Indonesia.
Aktivitas terbaru ICJR adalah desakan pembentukan Tim Reformasi Kepolisian yang independen, menyusul berbagai kasus tindakan represif dan ketidakprofesionalan aparat
Delpedro diduga menjadi admin akun media sosial yang berafiliasi dengan kelompok Blok Politik Pelajar (BPP), yang disebut menyebarkan ajakan untuk melakukan pengrusakan dan penggunaan bom molotov. Ia telah ditetapkan menjadi tersangka atas kasus tersebut.
Dalam penggeledahan di rumah orang tua Delpedro, pada 4 September 2025 lalu, polisi menyita sejumlah buku.
Iftitahsari mengatakan, kasus penangkapan Delpedro diduga sebagai upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
"Kasus itu kan kita melihat bahwa harusnya kan gak ada proses kriminalisasi itu ya. Itu gak ada usur pidananya gitu, untuk kebebasan berekspresi gitu," kata Iftitahsari, kepada Tribunnews.com, Jumat (19/9/2025).
"Dalam upaya mencari bukti akhirnya ya aneh-aneh aja dicari kan. Yang diambil akhirnya buku-buku bacaan gitu. Jadi apa tindak pidananya dari membaca buku itu?" sambungnya.
Baca juga: Keluh Keluarga Aktivis Delpedro dan Syahdan: Sulitnya Akses Besuk di Rutan Polda Metro Jaya
Terkait hal itu, ia kemudian mengatakan, hal ini terjadi karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur kontrol pengadilan dalam upaya paksa, dalam hal ini penyitaan yang dilakukan kepolisian.
Sehingga, ia meminta revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang sedang dibahas DPR dan Pemerintah dapat mengatur hal tersebut.
"Makanya kita dorong di KUHAP, adalah semua mekanisme upaya paksa penyitaan, penggeledahan barang, penangkapan, penahanan itu semua harus izin dulu sama hakim," jelasnya.
"Karena biar dicek, ini relevan enggak sih orang yang mau ditangkap atau mungkin alasan dia dilakukan penahanan itu memang ada alasannya atau enggak. Kemudian misalnya penyitaan, apakah barang yang ini memang relevan dengan tindak pidananya. Itu kan selama ini enggak ada pengecekan," tambah Iftitahsari.
Ia menuturkan, proses kontrol sejatinya bisa dilakukan melalui upaya praperadilan. Namun, mekanisme tersebut juga dinilai belum ideal.
Hal itu, menurutnya, dikarenakan upaya praperadilan tidak benar-benar menilai relevansi dan konsekuensi dari upaya paksa yang telah dilakukan terhadap seorang tersangka.
"Ada di praperadilan, tapi siapa sih yang punya keistimewaan untuk submit ke praperadilan dan sistemnya pun juga enggak ideal kan, hanya formal ada surat atau enggak ada surat," jelasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.