Senin, 29 September 2025

Dugaan Korupsi Kuota Haji

PBNU Bantah Terima Aliran Dana Korupsi Kuota Haji: 'Disebutkan Saja Nama yang Tersangkut'

PBNU meminta agar KPK langsung menyebut nama yang memang terlibat dalam kasus dugaan korupsi kuota haji, bukan secara institusi.

NU/Dok. Pribadi
KORUPSI KUOTA HAJI - Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi alias Gus Fahrur. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membantah pihaknya disebut-sebut diduga menerima aliran dana dari kasus korupsi kuota haji yang tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) membantah pihaknya disebut-sebut diduga menerima aliran dana dari kasus korupsi kuota haji yang tengah diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasus korupsi kuota haji yang mencuat tahun 2024–2025 merupakan salah satu skandal besar yang melibatkan pejabat tinggi Kementerian Agama dan sejumlah pihak swasta.

Baca juga: KPK Telah Periksa Hilman Latief 10 Jam Terkait Dugaan Korupsi Kuota Haji

Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ahmad Fahrur Rozi alias Gus Fahrur mengatakan agar KPK langsung menyebut nama yang memang terlibat dalam kasus itu, bukan secara institusi.

"Ya. Saya sudah ada statement membantah keras berita terkait aliran dana haji ke PBNU dan meminta KPK melakukan klarifikasi agar jelas, disebutkan saja nama tersangkut agar tidak menjadi fitnah. Secara organisasi sudah saya cek tidak ada kaitan dana tersebut ke bendahara PBNU," kata Gus Fahrur saat dihubungi Tribunnews.com, Minggu (14/9/2025).

 

 

Gus Fahrur mengatakan pernyataan yang dilontarkan pihak KPK soal hal tersebut yang tidak diikuti langkah hukum yang konkret justru menimbulkan kerugian yang besar.

"Pertama, kerugian reputasi bagi institusi yang disebut-sebut, baik Kementerian Agama, organisasi keagamaan tertentu, maupun individu-individu yang namanya diseret. Kedua, kerugian bagi masyarakat luas yang membutuhkan kepastian hukum," tuturnya.

Menurutnya, dalam perspektif hukum, asas due process of law menuntut adanya keadilan prosedural, termasuk hak-hak setiap orang yang disebut dalam dugaan perkara. 

Gus Fahrur mengatakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

"Jika seseorang atau institusi sudah diseret ke ruang publik, tetapi tidak segera dibawa ke pengadilan, maka hak atas kepastian hukum itu dilanggar. Proses penyidikan yang terlalu lama justru bertentangan dengan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam KUHAP maupun asas peradilan modern," tuturnya.

Dia pun mempertanyakan soal lamanya KPK mengambil keputusan hukum dalam kasus tersebut apakah lantaran alat bukti yang dikumpulkan menimbulkan keraguan atau ada faktor lain.

"Jika bukti belum cukup, maka seharusnya tidak ada pernyataan publik yang mengaitkan pihak tertentu dengan dugaan korupsi," jelasnya.

"Dalam konteks penegakan hukum korupsi, keadilan bukan hanya soal menghukum pelaku, tetapi juga soal menjamin hak-hak pihak yang dituduh. Mereka yang dituduh berhak untuk segera disidangkan agar bisa membela diri di hadapan hakim yang independen," sambungnya.

Sehingga, dia meminta agar KPK secara tegas menyebut nama-nama yang terlibat agar tak merusak citra institusi tertentu.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan