1 dari 3 Remaja di Indonesia Alami Gangguan Mental, Banyak yang Ingin Akhiri Hidup
Jenis masalah yang paling sering muncul adalah kecemasan, yang dapat berujung pada depresi hingga percobaan bunuh diri.
Penulis:
Aisyah Nursyamsi
Editor:
Willem Jonata
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kesehatan mental remaja di Indonesia kini menjadi perhatian serius.
Data terbaru dari penelitian National Adolescent Mental Health Survey (NAMHS) tahun 2021 menunjukkan, dari lebih 5.600 responden remaja di hampir seluruh Indonesia, prevalensi masalah kesehatan mental mencapai angka yang mencemaskan.
Anggota Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Braghmandita Widya Indraswari, M.Sc, Sp.A, Subsp.T.K.P.S(K), mengungkapkan prevalensi gangguan mental pada remaja berada di kisaran 30-35 persen.
Baca juga: Tantangan Remaja Masa Kini Lebih Kompleks, Pengaruh Digital Ancam Kesehatan Mental Mereka
“Kalau kita tidak mulai melakukan pencegahan, angka ini akan terus meningkat,” ungkapnya pada diskusi media virtual, Selasa (19/8/2025).
Menurutnya, jenis masalah yang paling sering muncul adalah kecemasan (anxiety) yang dapat berujung pada depresi hingga percobaan bunuh diri.
Selain itu, banyak pula kasus gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), adiksi internet, agresivitas, hingga perilaku menyakiti diri sendiri seperti menggores tangan dengan silet.
Lebih jauh, penelitian tersebut juga menunjukkan data mengejutkan, sekitar 84 persen remaja dengan masalah kesehatan mental memiliki keinginan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir.
Hal ini menggambarkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi generasi muda.
Peran Keluarga: Ruang Aman bagi Remaja
Braghmandita menekankan, keluarga seharusnya menjadi benteng pertama perlindungan bagi remaja.
Orang tua diharapkan peka terhadap tanda-tanda awal perubahan perilaku, seperti anak yang tadinya ceria menjadi pendiam, prestasi akademik menurun, atau menarik diri dari lingkungan sosial.
“Keluarga itu harusnya menjadi ruang yang aman. Tempat anak bisa mengekspresikan berbagai hal tanpa takut dan malu,” tuturnya.
Ia menegaskan, dukungan aktif dari keluarga bukan sekadar memberi solusi, tetapi juga menghindarkan stigma.
Apresiasi, motivasi, dan komunikasi terbuka diyakini bisa membantu remaja lebih kuat menghadapi tekanan.
Sekolah dan Kolaborasi Bersama
Selain keluarga, sekolah juga punya peran penting. Sebagian besar waktu remaja dihabiskan di sekolah, sehingga guru bisa menjadi pengamat pertama ketika ada perubahan perilaku siswa.
Braghmandita menambahkan, sekolah perlu menciptakan atmosfer yang bebas bullying, diskriminasi, dan tekanan berlebihan.
1 dari 7 Remaja di Dunia Alami Gangguan Mental, WHO Ingatkan Pentingnya Deteksi Dini |
![]() |
---|
Buat Status WA Bakar Rumah Kapolresta Pati, Remaja Ini Didatangi Polisi: Tidak Kami Tangkap |
![]() |
---|
Jam Richard Mille Ahmad Sahroni Dikembalikan, Orang Tua Bocah: Saya Bingung, Ini Pakainya Gimana Ya? |
![]() |
---|
Nasib Bocah Penjarah Jam Richard Mille Rp11,7 Miliar di Rumah Ahmad Sahroni, Barang Dikembalikan Ibu |
![]() |
---|
Tantangan Duel di Medsos Berujung Tangan Putus, Remaja Danco Ditangkap saat Nongkrong |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.