Senin, 29 September 2025

1 dari 3 Remaja di Indonesia Alami Gangguan Mental, Banyak yang Ingin Akhiri Hidup

Jenis masalah yang paling sering muncul adalah kecemasan, yang dapat berujung pada depresi hingga percobaan bunuh diri. 

Penulis: Aisyah Nursyamsi
Editor: Willem Jonata
CICIAI.COM
ILUSTRASI REMAJA DEPRESI. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kesehatan mental remaja di Indonesia kini menjadi perhatian serius. 

Data terbaru dari penelitian National Adolescent Mental Health Survey (NAMHS) tahun 2021 menunjukkan, dari lebih 5.600 responden remaja di hampir seluruh Indonesia, prevalensi masalah kesehatan mental mencapai angka yang mencemaskan.

Anggota Satgas Remaja Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Braghmandita Widya Indraswari, M.Sc, Sp.A, Subsp.T.K.P.S(K), mengungkapkan prevalensi gangguan mental pada remaja berada di kisaran 30-35 persen.

Baca juga: Tantangan Remaja Masa Kini Lebih Kompleks, Pengaruh Digital Ancam Kesehatan Mental Mereka

“Kalau kita tidak mulai melakukan pencegahan, angka ini akan terus meningkat,” ungkapnya pada diskusi media virtual, Selasa (19/8/2025). 

Menurutnya, jenis masalah yang paling sering muncul adalah kecemasan (anxiety) yang dapat berujung pada depresi hingga percobaan bunuh diri. 

Selain itu, banyak pula kasus gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), adiksi internet, agresivitas, hingga perilaku menyakiti diri sendiri seperti menggores tangan dengan silet.

Lebih jauh, penelitian tersebut juga menunjukkan data mengejutkan, sekitar 84 persen remaja dengan masalah kesehatan mental memiliki keinginan bunuh diri dalam 12 bulan terakhir. 

Hal ini menggambarkan betapa seriusnya situasi yang dihadapi generasi muda.

Peran Keluarga: Ruang Aman bagi Remaja

Braghmandita menekankan, keluarga seharusnya menjadi benteng pertama perlindungan bagi remaja

Orang tua diharapkan peka terhadap tanda-tanda awal perubahan perilaku, seperti anak yang tadinya ceria menjadi pendiam, prestasi akademik menurun, atau menarik diri dari lingkungan sosial.

“Keluarga itu harusnya menjadi ruang yang aman. Tempat anak bisa mengekspresikan berbagai hal tanpa takut dan malu,” tuturnya.

Ia menegaskan, dukungan aktif dari keluarga bukan sekadar memberi solusi, tetapi juga menghindarkan stigma. 

Apresiasi, motivasi, dan komunikasi terbuka diyakini bisa membantu remaja lebih kuat menghadapi tekanan.

Sekolah dan Kolaborasi Bersama

Selain keluarga, sekolah juga punya peran penting. Sebagian besar waktu remaja dihabiskan di sekolah, sehingga guru bisa menjadi pengamat pertama ketika ada perubahan perilaku siswa.

Braghmandita menambahkan, sekolah perlu menciptakan atmosfer yang bebas bullying, diskriminasi, dan tekanan berlebihan. 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan