Korupsi KTP Elektronik
Golkar Belum Bahas Posisi Setya Novanto di Partai, Sekjen Sarmuji: Biarkan Beliau Menikmati Hidup
Golkar menilai Setya Novanto sebaiknya diberi kesempatan beradaptasi lebih dulu sebelum kembali masuk dalam struktur partai.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Partai Golkar merespons bebas bersyarat yang dijalani mantan Ketua DPR sekaligus eks Ketua Umum Golkar, Setya Novanto yang tersandung kasus korupsi E-KTP.
Setya Novanto dikenal sebagai politikus senior Partai Golkar.
Baca juga: Ragam Respons soal Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK hingga Golkar Buka Suara
Dia pernah menjabat sebagai Ketua DPR RI periode 2014–2019 serta Ketua Umum DPP Partai Golkar pada 2016–2017.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar, Sarmuji, mengatakan pihaknya memahami bahwa Setya Novanto baru saja keluar dari masa pemasyarakatan.
Karena itu, Golkar menilai Setnov, biasa dia disapa sebaiknya diberi kesempatan beradaptasi lebih dulu.
"Pak Novanto sudah menjalani pemasyarakatan sebagai bekal saat menjalani hidup normal. Insya Allah lebih baik," kata Sarmuji kepada wartawan, Senin (18/8/2025).
Ia menambahkan, saat ini belum ada pembahasan mengenai posisi Novanto di internal Golkar.
Menurutnya, masuk kembali ke struktur partai akan menyita energi dan pikiran, sementara Novanto masih perlu menata kehidupan pasca bebas.
Baca juga: Setya Novanto Bebas Bersyarat, KPK Tak Ikut Campur: Itu Wewenang Penuh Kemenimipas
"Beliau baru bebas, pasti butuh adaptasi. Masuk pengurus menyita pikiran, biarkan beliau menikmati hidup tanpa beban terlebih dahulu," jelasnya.
Sebelumnya, mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dipastikan telah mendapatkan pembebasan bersyarat.
Kepastian ini disampaikan langsung Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto.
Agus menjelaskan bahwa keputusan bebas bersyarat tersebut sudah melalui mekanisme hukum yang berlaku.
Pembebasan bersyarat merupakan hak narapidana yang diatur dalam sejumlah regulasi hukum di Indonesia.
Ketentuan ini memungkinkan narapidana untuk menjalani sisa masa pidananya di luar lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan dan pembinaan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas).
"Iya, karena sudah melalui proses asesmen, dan yang bersangkutan berdasarkan hasil pemeriksaan PK itu sudah melampaui waktunya. Harusnya tanggal 25 yang lalu," kata Agus di Istana Negara, Jakarta, Minggu (17/8/2025).
Menurutnya, Setya Novanto tidak lagi memiliki kewajiban melapor usai bebas bersyarat. Hal ini lantaran semua ketentuan, termasuk denda subsidair, sudah dipenuhi.
"Nggak ada. Karena kan denda subsidier sudah dibayar," tegasnya.
Agus juga menambahkan, pengurangan masa hukuman bagi Setya Novanto merupakan konsekuensi dari putusan peninjauan kembali (PK) yang diajukan.
"Putusan PK kan kalau nggak salah. Putusan peninjauan kembali kepada yang bersangkutan dikurangi masa hukumannya," pungkasnya.
Profil Setya Novanto dan Perjalanan Kasusnya
Setya Novanto lahir di Bandung pada 12 November 1955.
Sebelum berkiprah di politik, ia meniti karier sebagai pengusaha dan menyelesaikan pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandala dan Universitas Trisakti.
Namanya mulai terseret dalam kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) tahun anggaran 2011–2013 setelah disebut oleh Muhammad Nazaruddin dalam persidangan.
Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Juli 2017, sempat menang praperadilan, namun kembali ditetapkan sebagai tersangka pada November 2017.
Proses hukum terhadap Novanto diwarnai berbagai drama, termasuk kecelakaan mobil saat hendak menyerahkan diri ke KPK.
Ia menjalani sidang perdana pada Desember 2017 dan akhirnya divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 April 2018.
Selain pidana penjara, ia dikenai denda Rp500 juta dan uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke KPK.
Pada tahun 2020, Novanto mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Putusan PK Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020 yang dibacakan pada 4 Juni 2025 mengurangi hukumannya menjadi 12 tahun 6 bulan penjara.
Hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik juga dipangkas dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Syarat Pembebasan Bersyarat Berdasarkan Regulasi
Dasar Hukum:
- Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
- Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan
- Permenkumham No. 7 Tahun 2022, sebagai perubahan atas Permenkumham No. 3 Tahun 2018
- Undang-Undang No. 22 Tahun 2022, khususnya Pasal 10 ayat (2) dan (3), yang menjadi dasar pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi seperti Setya Novanto.
Syarat Umum:
- Telah menjalani minimal 2/3 masa pidana, dengan ketentuan minimal 9 bulan telah dijalani
- Berkelakuan baik selama masa pidana, khususnya dalam 9 bulan terakhir
- Aktif mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lapas
- Dapat diterima kembali oleh masyarakat, berdasarkan hasil asesmen sosial dan rekomendasi Bapas
Syarat Administratif:
- Salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan hukuman
- Laporan pembinaan dari Lapas
- Laporan penelitian kemasyarakatan dari Bapas
- Surat jaminan dari keluarga atau lembaga sosial
- Surat pernyataan dari narapidana bahwa tidak akan melakukan pelanggaran hukum kembali
Untuk narapidana kasus korupsi, terdapat syarat tambahan berupa pembayaran lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
Dalam kasus Setya Novanto, Ditjenpas menyatakan bahwa ia telah menyelesaikan kewajiban tersebut sebelum pembebasan bersyarat diberikan.
Korupsi KTP Elektronik
Setya Novanto masih Bagian Keluarga Besar Partai Golkar |
---|
Setya Novanto Dapat Diskon Vonis, Remisi, Bebas Bersyarat, Feri Amsari: Hukum Tajam ke Orang Kecil |
---|
Bebas Bersyarat Setnov Dinilai Cacat Hukum, MAKI Ungkap Bukti Pelanggaran |
---|
KPK Koordinasi dengan Bareskrim Polri soal Perkembangan TPPU Setya Novanto |
---|
Melihat dari Dekat Rumah Mewah Setya Novanto di Pondok Indah yang Dijaga Sejumlah Petugas |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.