Aksi Demonstrasi di Pati
Bupati Pati Sudewo Didesak Mundur, Pakar Hukum Tata Negara: Warga Sudah Lihat Karakter Bupatinya
Soal aksi demonstrasi warga Kabupaten Pati yang menuntut Bupati Sudewo mundur, Bivitri Susanti menilainya sebagai langkah yang harus diapresiasi.
TRIBUNNEWS.COM - Pakar hukum tata negara sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menanggapi aksi demonstrasi warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang menuntut Bupati Pati Sudewo diberhentikan dari jabatannya.
Pada Rabu (13/8/2025) hari ini, aksi unjuk rasa besar-besaran digelar di depan Kantor Bupati Pati, Jalan Tombronegoro Nomor 1, Kaborongan, Pati Lor, Kabupaten Pati, yang juga berdekatan dengan Alun-alun Kabupaten Pati.
Bupati Pati Sudewo menuai kritik tajam dari warga setelah kebijakan yang dinilai memberatkan rakyat, seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen untuk meningkatkan pendapatan daerah.
PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Selain itu, respons atau tanggapan Sudewo mengenai kritik dan aspirasi warga juga dinilai menjadi salah satu pemicu aksi demo.
Sudewo sempat terkesan menantang ketika menyatakan tidak takut didemo oleh masyarakat.
"Siapa yang mau menolak [kenaikan PBB-P2, red], saya tunggu, silakan lakukan. Bukan hanya 5.000, 50.000 orang pun saya hadapi. Saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan," ucap Sudewo pada Rabu (6/8/2025).
Meski akhirnya kenaikan PBB-P2 ini dibatalkan pada Jumat (8/8/2025), warga tetap menggelar aksi demo dan kini menuntut Sudewo dilengserkan dari jabatan Bupati Pati.
Para peserta aksi demonstrasi siap melakukan unjuk rasa berhari-hari sampai Sudewo lengser, sebagaimana disampaikan Koordinator Lapangan (Korlap) Penggalangan Donasi Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, Teguh Istiyanto.
“Jika Sudewo tidak mundur, aksi berlanjut sampai dia mundur. Dua hari, tiga hari, tetap kami layani. Kami tunggui di sini sampai mundur," ujar Teguh, dikutip dari TribunJateng.com.
"Karena kesimpulannya memang seperti itu. Kami tidak mau jadi objek uji coba pemimpin," tambahnya.
Baca juga: VIRAL Pendemo Bacakan Surat Mundur Bupati Pati Sudewo di Tengah Aksi Ricuh
"Pemimpin harus yang betul-betul paham, tahu kondisi masyarakat bawah, sehingga ada rasa empati dan simpati dengan rakyat,” tegasnya.
Pakar Hukum: Aksi Warga Harus Diapresiasi
Menanggapi aksi demonstrasi warga Kabupaten Pati, Bivitri Susanti menilainya sebagai langkah yang harus diapresiasi.
Sebab, dengan demo tersebut, artinya warga sudah paham betul mengenai relasi mereka dengan pemimpin yang mereka pilih di Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada.
Bahwa warga bisa menuntut atau menagih janji yang pernah diumbar oleh pemimpin mereka saat dipilih.
Hal ini dia sampaikan saat menjadi narasumber dalam tayangan Kompas Malam yang diunggah di kanal YouTube KompasTV, Selasa (12/8/2025).
"Saya kira, kita harus apresiasi itu ya karena artinya warga sudah punya pemahaman yang cukup tentang relasi mereka dengan bupati yang mereka pilih gitu," kata Bivitri.
"Jadi saya kira ini dampak positif dan sangat konstruktif dan bisa membuat kita makin yakin bahwa kita membutuhkan model Pilkada langsung itu karena warga jadi tahu persis apa yang memang menjadi hak mereka. Mereka bisa tuntut kepada orang yang sudah mereka pilih," sambung perempuan yang lahir pada lahir 5 Oktober 1974 itu.

Warga Tahu Karakter Pemimpin
Bivitri Susanti juga menanggapi ketegangan antara warga dan Bupati Pati Sudewo, terutama saat politisi Partai Gerindra kelahiran Pati, 11 Oktober 1968 itu menantang warganya yang demo.
"Saya melihatnya memang ada rangkaian peristiwa sebelumnya. Salah satunya yang paling kuat adalah arogansi dari bupati ketika ada ketegangan antara warga biasa dengan bupati yang seakan-akan bupati waktu itu menantang," jelas Bivitri.
"Nah, kemudian warga bilang, 'Loh, Anda ini kami yang bayar.' Itu saya kira kesadaran yang bagus sekali."
"Dan kemudian bupati juga sempat bilang mau 5.000, 50.000 [pendemo, red] saya akan layani. Nah, di titik itu saya kira warga jadi sudah bisa melihat karakter bupatinya kok tidak seperti yang dulu dijual waktu kampanye begitu," imbuh alumnus Universitas Indonesia itu.
Bivitri, yang pernah menjadi salah satu pemeran utama dalam film Dirty Vote karya Dandhy Laksono ini juga menilai, ada diskoneksi antara warga dan pemimpinnya kala Bupati Pati Sudewo bukannya mendengarkan aspirasi warga soal kenaikan PBB-P2 tetapi malah balik menantang.
"Saya melihatnya memang masyarakat mulai merasa bahwa ada diskoneksi antara bupati dengan warganya yang dalam kesulitan seperti itu dan ketika ada demo pun bukannya didengar dengan baik tapi malah ditantang," ujar Bivitri.
"Jadi, kalau saya sih melihatnya ini memang suatu gerakan warga yang mulai mengkoneksi dengan baik antara kehidupan mereka sehari-hari dengan pejabat yang mereka pilih dalam pemilihan langsung gitu," tambahnya.
Baca juga: Masyarakat Pati Tuntut Bupati Sudewo Lengser! Bagaimana Mekanisme Pemakzulan Seorang Kepala Daerah?
Sensitivitas Pejabat Sangat Kurang
Dari kebijakan Bupati Pati Sudewo yang menaikkan PBB-P2 hingga 250 persen di tengah banyaknya warga yang terjerat kesulitan ekonomi, Bivitri menilai hal tersebut menunjukkan bahwa sensitivitas atau kepekaan pejabat publik masih kurang.
"Nah, [sensitivitas, red] ini yang saya lihat memang sangat kurang," tutur Bivitri.
Menurutnya, menaikkan pajak merupakan cara paling instan tetapi kurang inovatif yang dilakukan pemimpin daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
Sebab, ada cara lain untuk menambah pendapatan daerah yang lebih fair, salah satunya adalah fokus pada industri kreatif.
Bivitri menambahkan, menaikkan pajak PBB-P2 secara mendadak dan tidak bertahap serta kurangnya sosialisasi merupakan cermin bahwa Bupati Pati Sudewo tidak peka dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh warga.
"Yang dilakukan dan menurut saya di sini, bupati tidak peka dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh warga. Plus dilakukannya kan tiba-tiba, sosialisasi minim, tidak bertahap, langsung 250 persen, itu sangat mencekik pasti. Di sini kita bisa soroti ketidakpekaan ini," tandasnya.
(Tribunnews.com/Rizki A.) (TribunJateng.com/Adelia Sari)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.