6 Poin Kritik SETARA Institute Soal Pengembangan Struktur Organisasi Baru TNI
SETARA Institute memberikan enam poin catatan yang mengkritik pengembangan struktur organisasi TNI yang baru.
Penulis:
Gita Irawan
Editor:
Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - SETARA Institute memberikan enam poin catatan yang mengkritik pengembangan struktur organisasi TNI yang baru.
Pengembangan struktur organisasi tersebut baru diresmikan Presiden Prabowo Subianto dalam Upacara Gelar Pasukan Operasional dan Kehormatan Militer di Lanud Suparlan, Pusdiklatpassus Kopassus, Batujajar, Bandung, Jawa Barat pada Minggu (10/8/2025) lalu.
Struktur organisasi baru yang diresmikan meliputi di antaranya 6 Kodam, 14 Kodaeral, 3 Kodau, 1 Koopsud, 6 Grup Kopassus, 20 Brigade Teritorial Pembangunan, 1 Brigade Infanteri Marinir, 1 Resimen Korps Pasgat, 100 Batalyon Teritorial Pembangunan, 5 Batalyon Infanteri Marinir, dan 5 Batalyon Komando Korps Pasgat.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie mengungkapkan catatan pertama yakni pembentukan enam Kodam baru memperlihatkan penyusunan kebijakan yang tidak berbasis kepada ketentuan UU TNI.
Baik dalam UU TNI 2024 maupun hasil revisinya, kata dia, terdapat ketentuan Pasal 11 ayat (2) bahwa Postur TNI dibangun dan dipersiapkan sesuai dengan kebijakan pertahanan negara.
Dalam bagian penjelasan Pasal a quo, ungkapnya, terdapat penekanan bahwa dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.
"Sementara dalam hal penambahan Kodam terlihat melalui pembentukan struktur TNI yang mengikuti struktur administrasi pemerintahan hingga ke daerah, sehingga TNI semakin dekat dengan peran-peran sipil di daerah," kata Ikhsan saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (12/8/2025).
Kedua, lanjut Ikhsan, pembangunan dan penggelaran kekuatan TNI melalui pembentukan struktur Komando Teritorial seharusnya memperhatikan dan mengutamakan wilayah rawan keamanan, daerah perbatasan, daerah rawan konflik, dan pulau terpencil sesuai dengan kondisi geografis dan strategi pertahanan.
Hal itu guna memastikan pertahanan dan kedaulatan negara, sebagaimana amanat UU TNI Pasal 11 ayat (2).
Ketiga, pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan menjadi bentuk ekspansi militer ke dalam ruang sipil dengan bungkus pembangunan dan kesejahteraan.
Retorika pembangunan, kata Ikhsan, tidak dapat menyembunyikan realitas bahwa militer sedang memperluas peran dan pengaruhnya ke ranah yang bukan wewenangnya.
"Kehadiran batalyon-batalyon non-tempur adalah deviasi terhadap amanat reformasi 1998 yang dengan tegas memisahkan militer dari urusan sipil, serta gejala terang arus balik reformasi TNI melalui ketidakpatuhan terhadap berbagai batasan dalam OMSP yang telah diatur UU TNI 2025," jelas dia.
Keempat, pembentukan Batalyon Pembangunan mengakibatkan distorsi fungsi pertahanan.
Ketika dunia tengah memperkuat postur militer berbasis teknologi, kapasitas dan kualitas prajurit, alutsista, hingga kesejahteraan prajurit untuk menghadapi dinamika ancaman, menurutnya TNI justru gagal fokus dengan menambah banyak prajurit untuk menjalankan fungsi-fungsi sipil yang notabene sudah memiliki berbagai otoritas sipil yang menanganinya.
Menurut dia penambahan 100 batalyon tersebut dapat berkonsekuensi bertambahnya beban anggaran, terutama untuk gaji, infrastruktur, dan pembinaan.
Dissenting Opinion, 4 Hakim MK Nilai DPR Seharusnya Perbaiki UU TNI |
![]() |
---|
Pasca Demo Aparat Masih Jaga DPR, Legislator PDIP: Jangan Sampai Ganggu Aktivitas Wartawan |
![]() |
---|
Komposisi Menteri-Wamen dari Parpol usai Prabowo Lakukan Reshuffle: Gerindra Terbanyak, Ada 12 Orang |
![]() |
---|
Bikin Belajar Lebih Seru, Smart Board Dapat Respon Positif dari Siswa dan Netizen |
![]() |
---|
Ternyata Djamari Chaniago & Dofiri Juga Diganjar Pangkat Jenderal Kehormatan oleh Prabowo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.