Rabu, 1 Oktober 2025

Jurnalis di Aceh, Sulteng dan Papua Barat Daya Masih Hadapi Ancaman dan Mengalami Kekerasan

Perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan.

Editor: Dodi Esvandi
HANDOUT
Yayasan TIFA lewat program Jurnalisme Aman meluncurkan sebuah laporan yang merekam pengalaman jurnalis di tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap pers: Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan TIFA lewat program Jurnalisme Aman meluncurkan sebuah laporan yang merekam pengalaman jurnalis di tiga wilayah dengan tingkat kekerasan tinggi terhadap pers: Aceh, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat Daya.

Dari total 55 jurnalis yang diwawancarai secara mendalam di tiga wilayah tersebut, menyatakan pernah mengalami kekerasan atau ancaman dalam menjalankan tugas jurnalistik—baik secara fisik, verbal, maupun digital.

Sebanyak 65 persen dari mereka mengaku sering atau kadang-kadang menghadapi kekerasan atau intimidasi, yang berdampak pada cara mereka bekerja dan merasakan keamanan.

Penelitian ini secara sengaja membatasi cakupan geografis pada tiga wilayah untuk menggali lebih dalam konteks lokal, dan tidak dimaksudkan untuk mewakili kondisi secara nasional.

Fokus utama studi ini adalah untuk memahami bagaimana sistem perlindungan bekerja di lapangan, serta celah-celah yang perlu dibenahi untuk memperkuat keamanan jurnalis, terutama di daerah-daerah dengan infrastruktur advokasi yang terbatas.

Project Officer Jurnalisme Aman, Arie Mega mengungkapkan, jenis kekerasan yang dialami jurnalis di tiga wilayah itu juga berbeda.

Baca juga: Dorong Jurnalis Hasilkan Karya Berkualitas, Pertamina Gelar Bootcamp AJP Teritori Jawa Bagian Tengah

Di Aceh, jenis kekerasan utama antara lain intimidasi dan ancaman verbal, larangan liputan, perampasan alat dan kekerasan pasca-publikasi.

Sedangkan di Sulawesi Tengah, jenis kekerasan utama antara lain kekerasan fisik saat demo dan liputan Program Strategis Nasional (PSN), pemaksaan penghapusan dokumentasi hingga pelecehan seksual.

Sementara itu, jenis kekerasan utama yang sering dialami jurnalis di Papua Barat Daya lebih kekerasan bersifat multidimensi—berbasis ras, gender, dan politik.

“Upaya penanganan kekerasan terhadap jurnalis sejauh ini masih terfragmentasi. Nota kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri belum sepenuhnya diterapkan di daerah. Pelatihan keamanan jurnalistik belum menjadi bagian dari program wajib di media atau organisasi profesi. SOP peliputan di lapangan tidak tersedia atau tidak diketahui oleh aparat, dan sistem aduan yang aman belum dibentuk secara merata di wilayah,” kata Arie Mega di acara Konsultasi Forum Nasional: “Diseminasi Report Assessment Kekerasan Jurnalis di 3 Region”, Selasa (5/8/2025) di Jakarta.

Arie Mega menambahkan, perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia saat ini bersandar pada regulasi yang kuat secara normatif, tetapi lemah dalam pelaksanaan.

Namun, kata dia, lemahnya pemahaman aparat, ketidakkonsistenan lembaga peradilan, ketidaktegasan Kementerian Komdigi sebagai regulator digital, dan minimnya kepemimpinan politik dalam isu ini menjadikan perlindungan terhadap jurnalis lebih bersifat simbolis daripada substantif.

Ini membuat negara belum hadir secara utuh sebagai pelindung kebebasan pers.

Baca juga: 4 Kasus Pembunuhan oleh Oknum TNI: Serma TDA Tikam Istri, Pembunuhan Jurnalis Juwita Bikin Gempar

Arie menegaskan, Yayasan TIFA memberikan empat rekomendasi yang harus dijalankan pemerintah untuk melindungi jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Pertama, perlu adanya pembentukan Rencana Aksi Nasional Perlindungan Jurnalis (RAN-PJ).

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved