Abolisi dan Amnesti dari Presiden RI
Feri Amsari: Amnesti dan Abolisi, Bukti Kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong Peradilan Politik
Peradilan politik yang menjerat Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto diselesaikan secara politik pula oleh Prabowo lewat pemberian abolisi dan amnesti.
TRIBUNNEWS.COM - Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, memaparkan bagaimana dirinya yakin bahwa kasus yang menjerat Mantan Menteri Perdagangan RI (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan Mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto merupakan bentuk peradilan politik.
Keyakinan Feri Amsari akan peradilan politik ini semakin kuat karena ada amnesti untuk Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk Tom Lembong yang diberikan oleh Presiden RI Prabowo Subianto.
Kata Feri Amsari, peradilan politik sendiri dirancang sedemikian rupa dengan tujuan membungkam atau menjatuhkan lawan politik.
Adapun amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan oleh kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu.
Dengan diberikannya amnesti, maka semua akibat hukum pidana terhadap individu yang bersangkutan akan dihapuskan.
Sementara, abolisi sendiri berasal dari kata bahasa Inggris, 'abolition' yang berarti penghapusan, dan dalam konteks hukum artinya penghapusan proses hukum seseorang atau sekelompok orang yang sedang berjalan.
Pemberian abolisi dan amnesti menjadi hak prerogatif presiden di ranah yudikatif yang diatur dalam Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945, di mana presiden hanya bisa memberikan amnesti atau abolisi dengan mempertimbangkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Erat Kaitan dengan Politik
Melihat dari isi Pasal 14 Ayat 2 UUD 1945, Feri Amsari menilai, pemberian abolisi dan amnesti oleh seorang presiden memiliki kaitan erat dengan ranah politik.
Hal ini dia sampaikan saat menjadi tamu dalam tayangan FERI AMSARI: PRABOWO HENTIKAN DOMINASI JOKOWI yang diunggah di kanal YouTube Forum Keadilan TV, Selasa (5/8/2025).
"Konstruksi pasal 14 ayat 2 itu berkaitan dengan kepentingan politik. Presiden itu berhak memberikan amnesti dan abolisi dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat," ujar Feri.
Baca juga: Deretan Bukti yang Dimiliki Tom Lembong untuk Laporkan Majelis Hakim yang Tangani Kasus Impor Gula
"Dari nuansa institusinya, sudah ketahuan ini ada relasi politiknya. Sejarahnya juga begitu. Amnesti dan abolisi berkaitan dengan ruang-ruang politik," tambahnya.
Feri menambahkan, pemberian amnesti dan abolisi sangat kental dengan nuansa politik jika melihat dari sejarah.
"Nah, amnesti itu gagasannya begitu sangat politis. Kalau dilihat sejarahnya, juga akan terlihat di sejarah Indonesia, bahkan ada pemberian amnesti kepada figur-figur yang berkaitan dengan kepentingan politik. Biasanya, pelaku kudeta makar melawan pemerintah dan segala macam," jelas Feri.
"Nah, abolisi juga begitu. Abolisi karena asal-muasalnya karena pengampunan raja terhadap para budak. Maka itu menempel sebagai upaya penghentian proses hukum. Jadi, biasanya kalau proses hukum berjalan, tiba-tiba dihentikan. Mau sedang berlangsung, akan berlangsung, atau sudah selesai akan dihentikan prosesnya," tambahnya.
Oleh karenanya, Feri pun menyebut, pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Tom Lembong justru mempertegas bahwa kasus kedua tokoh tersebut dipolitisasi.
Ia lalu semakin yakin, kasus Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong adalah bentuk peradilan politik, peradilan yang dirancang untuk melemahkan lawan politik.
"Nah, dua ini menurut saya menarik dalam kasus belakangan, karena diberikan kepada satu kepada Mas Hasto, satu kepada Pak Tom Lembong," ujar Feri.
"Dua pemberian ini bagi saya malah mempertegas pemaparan saya soal kasus Mas Hasto dan Pak Tom Lembong dari awal bahwa ini peradilan politik. Peradilan politik itu gambaran sederhananya adalah peradilan yang dibangun sedemikian rupa untuk kemudian menjatuhkan lawan politik," tuturnya.
Namun, menurut Feri, peradilan politik yang menjerat Tom dan Hasto akhirnya diselesaikan secara politik pula oleh Presiden RI Prabowo Subianto lewat pemberian abolisi dan amnesti.
"Menurut saya, memang ada nuansa peradilan politik dan itu dibenarkan dengan pemberian amnesti ini. Karena ini dua hak presiden dalam ruang politik yang mencampuri urusan hukum. Nah, di titik ini kurang lebih saya mau mengatakan, 'benar kan dugaan bahwa ini peradilan politik dan diselesaikan secara politik,'" papar Feri.
Lalu, Feri menilai bahwa pihak yang memulai dan mengintervensi kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto adalah Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi).
"Apakah kemudian ada rekayasa politik lain, campur tangan politisi lain. Kenapa presiden di ujungnya menyelesaikan? Kalau presiden mau menyelesaikan, siapa yang memulainya?" ujar Feri.
"Nah, bagi saya, kalau dilihat dari keterangan dua orang ini, kan disinggung baik sebelum persidangan maupun di dalam persidangan, bahwa ada seseorang yang kemudian kurang lebih disebut sebagai Presiden RI ke-7 Joko Widodo lah kurang lebih ya," tandasnya.
Abolisi untuk Tom Lembong dan Amnesti buat Hasto Kristiyanto
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI) Sufmi Dasco Ahmad mengumumkan, DPR telah menyetujui dua surat tentang abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto yang diajukan Presiden RI Prabowo Subianto dalam rapat konsultasi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (31/7/2025).
Pemberian abolisi untuk Tom Lembong tertuang dalam Surat Presiden (Surpres) Nomor R43/Pres/072025, sedangkan amnesti untuk Hasto dimuat di Surpres Nomor 42/pres/072025.
Kedua surat tersebut sama-sama tertanggal 30 Juli 2025.
Kemudian, abolisi Tom Lembong secara resmi termuat dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 18 Tahun 2025 dan amnesti Hasto Kristiyanto tertulis dalam Keppres No. 17 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden RI Prabowo Subianto dan berlaku mulai 1 Agustus 2025.
Adapun Tom Lembong telah dijatuhi vonis hukuman 4,5 tahun penjara dan denda sebesar Rp750 juta (subsidair 6 bulan kurungan) dalam sidang yang digelar Jumat (18/7/2025) lalu terkait perkara dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan RI periode 2015-2016.
Tom dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menyebut bahwa perbuatan melawan hukum yang memperkaya orang lain atau korporasi dan merugikan keuangan negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Sementara, Hasto Kristiyanto dijatuhi vonis hukuman 3 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025).
Majelis hakim menyatakan, Hasto terbukti menyuap mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan sebesar Rp400 juta terkait upaya meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR melalui pergantian antar waktu.
Namun, Hasto dinyatakan tidak terbukti melakukan obstruction of justice atau perintangan penyidikan.
(Tribunnews.com/Rizki A.)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.