BREAKING NEWS: MK Larang Pimpinan Advokat Rangkap Jabatan Jadi Pejabat Negara atau Petinggi Parpol
MK menyatakan pimpinan organisasi advokat tidak boleh rangkap jabatan ketika ditunjuk jadi pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pimpinan organisasi advokat tidak boleh rangkap jabatan ketika mereka ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri.
Selain itu, MK melarang pimpinan organisasi advokat merangkap jabatan sebagai pimpinan partai politik.
MK juga mengatur agar pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali alias dibatasi hanya menjabat 2 periode dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyampaikan bahwa putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menegaskan bahwa status jabatan wakil menteri ditempatkan sama dengan status yang diberikan kepada menteri.
Sehingga, larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana norma Pasal 23 UU 39/2008 juga berlaku untuk wakil menteri.
Baca juga: Hasto Gugat Pasal 21 UU Tipikor ke Mahkamah Konstitusi, Apa Kata KPK?
"Dengan status demikian, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri seperti yang diatur dalam norma Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri," kata Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membaca pertimbangan hukum putusan uji materil UU Advokat di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).
MK kemudian menjelaskan jika pertimbangan hukum dalam kedua putusan tersebut dikaitkan dengan larangan bagi advokat sebagaimana UU 18/2003, dan larangan rangkap jabatan bagi menteri/wakil menteri dalam UU 39/2008, serta putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019, hal ini sesuai larangan yang termaktub di Pasal 20 Ayat (3) UU 18/2003.
Baca juga: Pakar Hukum Tata Negara Sebut Revisi UU TNI Hasil Kesepakatan Politik Jokowi dan Prabowo
Dalam ketentuan pasal itu, advokat yang menjadi pejabat negara tidak melaksanakan tugas profesi advokat selama memangku jabatan tersebut.
Artinya, advokat yang menjalankan tugas sebagai pejabat negara dengan sendirinya kehilangan pijakan hukum untuk menjadi pimpinan organisasi advokat.
Mahkamah memiliki dasar kuat untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus non-aktif jika ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk menteri atau wakil menteri.
MK menegaskan larangan tersebut dimaksudkan agar pimpinan organisasi advokat yang menjadi pejabat negara termasuk menteri atau wakil menteri, dapat terhindar dari potensi benturan kepentingan.
"Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (conflict of interest) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri," katanya.
Berkenaan dengan itu dalam putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
MK menyatakan norma Pasal 28 Ayat (3) UU 18/2003 tentang Advokat sebagaimana telah dimaknai dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022 bertantangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai:
"Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama baik secara berturut atau tidak, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik baik tingkat pusat maupun daerah, dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara," kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan.
Adapun permohonan ini bercermin dari sikap advokat cum Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan yang saat ini masih menduduki jabatannya, tapi di saat bersamaan duduk di posisi Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan. Ia dilantik Oktober 2024 lalu di Istana Kepresidenan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.