Selasa, 30 September 2025

Kasus Impor Gula

THMP Sebut Diskresi Kasus Tom Lembong Tak Menghapus Unsur Pidana Korupsi, Bantah Kriminalisasi

C. Suhadi menyoroti diskresi kasus impor gula Tom Lembong, menurutnya kebijakan merugikan negara dikategorikan sebagai tindak korupsi

|
Tribunnews/Jeprima
SIDANG TOM LEMBONG - Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2025). Koordinator THMP, C. Suhadi menyoroti diskresi kasus impor gula Tom Lembong, menurutnya kebijakan merugikan negara dikategorikan sebagai tindak korupsi 

TRIBUNNEWS.COM - Koordinator Tim Hukum Merah Putih (THMP), C. Suhadi S.H., M.H., menyoroti aspek hukum diskresi dan mens rea dalam kasus impor gula yang menyeret nama mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

Ia menekankan, kebijakan yang merugikan negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi meskipun pelaku tidak memiliki niat jahat atau tidak menikmati keuntungan pribadi.

Diskresi adalah pebebasan mengambil keputusan sendiri dalam setiap situasi yang dihadapi, sementara mens rea merupakan niat jahat.

Sebelumnya, ramai pendukung Tom Lembong tak terima dengan putusan hakim pada 18 Juli 2025 memvonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dalam kasus korupsi impor gula kristal mentah (GKM) periode 2015-2016. 

Dalam kasus impor gula ini, Tom Lembong dianggap melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Akibat kebijakannya, Tom Lembong juga dianggap merugikan negara sebesar Rp 194,7 miliar.

Tom Lembong dipidana meski terbukti tidak menerima uang korupsi.

Lantas menurut Suhadi, penggunaan diskresi dalam kebijakan pemerintahan tidak serta merta menghapus unsur pidana jika terbukti merugikan keuangan negara.

Menurut analisisnya, diskresi merupakan bentuk kebijakan pejabat pemerintah dalam mengambil langkah tertentu atas dasar kekosongan hukum atau keadaan mendesak, sepanjang tidak menimbulkan kerugian dari kebijakan tersebut.

"Diskresi yang dimaksud mengacu pada Pasal 22 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menyatakan bahwa diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang," jelasnya pada Kamis (24/7/2025).

Dalam kasus Tom Lembong, kebijakan diskresi yang diambil harus memenuhi syarat objektif, tidak menimbulkan konflik kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik sesuai Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan.

Baca juga:  Isi Surat Tom Lembong dari Balik Jeruji, Tulis Refleksi Moral dan Etika Bangsa

Suhadi menekankan bahwa meskipun diskresi adalah wilayah administrasi, namun UU No. 30/2014 memberikan batasan tegas. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (4) undang-undang tersebut menegaskan bahwa semua kebijakan tidak boleh merugikan keuangan negara.

Kerugian negara mencapai Rp578 miliar akibat pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan gula rafinasi, meskipun putusan hakim menetapkan kerugian sebesar Rp194,7 miliar.

"Apabila ditemukan kerugian negara dari kebijakan tersebut, maka hal itu dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi sebagaimana UU No. 31 Tahun 1999," tegasnya.

Terkait argumen pembelaan bahwa tidak ada niat jahat (mens rea), Suhadi berpendapat, hal ini harus dipandang secara luas.

Dalam UU Tipikor yang menganut asas lex specialis, pembuat kebijakan tidak berdiri sendiri tetapi ada pihak lain yang menjadi penyerta dari kebijakan tersebut.

"Sepanjang kebijakan itu dapat menguntungkan orang lain atau korporasi, maka pembuat kebijakan dapat dijerat Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, walaupun si pembuat kebijakan tidak menikmatinya secara langsung," jelasnya.

Meskipun hakim menyatakan Tom tidak menikmati keuntungan pribadi, kebijakannya dianggap memperkaya perusahaan swasta, sehingga memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor.

Pasal ini menyebutkan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi dapat dipidana, bahkan tanpa niat jahat langsung dari pelaku.

Vonis Tom Lembong memicu tudingan kriminalisasi dari pendukungnya, yang menyebut kasus ini terkait dengan peran Tom sebagai tim sukses pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar pada Pilpres 2024.

Kuasa hukum Tom, Ari Yusuf Amir, menyatakan kliennya tidak memiliki niat jahat dan kebijakannya justru menghasilkan keuntungan negara sebesar Rp900 miliar, bukan kerugian.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan banding atas vonis 4,5 tahun, dengan alasan adanya perbedaan pendapat soal kerugian negara.

Kasus ini juga menyoroti kompleksitas penegakan UU Tipikor terhadap pejabat publik yang menggunakan diskresi.

Suhadi menekankan pentingnya kehati-hatian dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak menimbulkan kerugian negara, yang secara hukum dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Analisis ini, kata Suhadi, relevan dengan diskusi hukum terkini, di mana batas antara diskresi administratif dan pelanggaran pidana sering kali kabur, terutama ketika kebijakan berdampak pada keuangan negara.

Baca juga: Tom Lembong Mode Tempur Cari Keadilan, Tak Ingin Tercatat dalam Sejarah Bangsa sebagai Koruptor

Tom Lembong Nyatakan Lawan

Tom Lembong siap 'bertempur' untuk mendapatkan keadilan atas kasut karupsi importasi gula yang menjeratnya.

"Perlu diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, oleh Kejaksaan Agung, oleh Mahkamah Agung, oleh seluruh lembaga peradilan. Pak Tom tidak sedang berkompetisi menang-menangan atau hebat-hebatan dalam kasus ini. Tidak. Sama sekali tidak," ungkap kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, dalam talkshow Overview Tribunnews, Rabu (23/7/2025).

Zaid menegaskan Tom Lembong tidak pernah merendahkan maupun memandang sebelah mata seluruh proses hukum yang sebenarnya banyak kejanggalan yang dilakukan aparat penegak hukum.

"Dia tidak pernah memandang itu sebelas mata, tetapi apa yang perlu dikritisi harus tetap dikritisi."

"Pak Tom ini dalam semangat saya tidak mau sejarah mencatat saya sebagai seorang koruptor karena sejarah itu catatannya abadi," ungkap Zaid menirukan pernyataan Tom Lembong.

Alumni Universitas Harvard itu tidak mau anak cucunya dan seluruh bangsa Indonesia itu mencapnya sebagai seorang koruptor.

"Makanya dia 'bertempur' dalam pembuktian itu habis-habisan. dia buktikan segala sampai dia harus makan gula di depan majelis hakim karena dibilang gula itu bahaya," ungkapnya.

Baca juga:  Aksi Tom Lembong Bikin Kaget Kuasa Hukum, Mengelem Meja Rusak ketika Break Sidang Kasus Impor Gula

Tom Lembong, kata Zaid, akan memperjuangkan apa pun jalan atau proses hukum yang dibenarkan secara undang-undang untuk melakukan pembatalan atau bantahan atau perlawanan terhadap vonis hakim yang memenjarakan dia 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.

Baca juga: Aksi Tom Lembong Bikin Kaget Kuasa Hukum, Mengelem Meja Rusak ketika Break Sidang Kasus Impor Gula

"Dia enggak ngambil uang, disah (ditetapkan) dipenjara, disuruh bayar denda. Ini kan nalar publik tentu sangat terusik dengan hal-hal seperti ini."

"Tapi semangatnya dia itu seperti tadi ya. Jadi dia dalam rangka proses mencari keadilan dan kebenaran agar sejarah tidak mencatat namanya sebagai seorang koruptor," ungkapnya.

Latar Belakang Kasus

Kasus bermula dari penetapan Tom Lembong sebagai tersangka pada 29 Oktober 2024 atas dugaan memberikan izin kepada perusahaan swasta PT AP untuk mengimpor gula kristal mentah.

Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Tipikor jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP karena menerbitkan 21 surat persetujuan impor GKM kepada 10 perusahaan swasta tanpa koordinasi antarkementerian dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Jaksa menyebut kebijakan ini merugikan negara sebesar Rp578,1 miliar, meskipun putusan hakim menetapkan kerugian sebesar Rp194,7 miliar.

Kebijakan impor ini dilakukan saat produksi gula dalam negeri dinilai mencukupi, dan perusahaan penerima izin, yang bergerak di bidang gula rafinasi, tidak berhak mengolah GKM menjadi GKP.

Selain itu, Tom menunjuk koperasi seperti Inkopkar dan Inkoppol untuk mengendalikan harga gula, bukan BUMN, yang dianggap lebih kompeten.

Dalam vonis Pengadilan Tipikor, Tom Lembong diputus bersalah dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta dalam kasus korupsi impor gula kristal mentah periode 2015-2016. 

Siapa C. Suhadi dan Tim Hukum Merah Putih?

Suhadi adalah seorang praktisi hukum yang dikenal sebagai Koordinator Tim Hukum Merah Putih.

Ia memiliki gelar Sarjana Hukum (SH) dan Magister Hukum (MH) dan sering memberikan pandangan hukum terkait isu-isu politik, pemilu, dan kebijakan pemerintahan di Indonesia.

Suhadi kerap tampil di media untuk mengomentari berbagai kasus hukum dan kebijakan, termasuk dalam konteks penegakan hukum, tindak pidana korupsi, dan sengketa pemilu.

Ia juga dikenal sebagai pendukung setia kebijakan pemerintahan, terutama terkait pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, serta kerap mengkritik pihak yang dianggap menghambat proses hukum atau pembangunan nasional.

Tim Hukum Merah Putih adalah kelompok advokasi hukum yang dipimpin oleh C. Suhadi, berfokus pada analisis dan dukungan terhadap isu-isu hukum dan kebijakan pemerintahan di Indonesia.

Tim ini sering terlibat dalam diskusi hukum terkait pemilu, penegakan hukum, dan kebijakan strategis pemerintah, seperti pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Baca juga: Apa Itu Mens Rea? Istilah Hukum dalam Kasus Tom Lembong dan Populer Dipakai Pandji Pragiwaksono

Mereka juga dikenal sebagai bagian dari relawan pendukung Jokowi dan kemudian Prabowo-Gibran, dengan agenda mendukung keberlanjutan pembangunan nasional menuju visi Indonesia Emas 2045.

Tim ini aktif memberikan pandangan kritis terhadap isu seperti dugaan kecurangan pemilu, penggunaan amicus curiae, dan kasus korupsi, serta mendorong penegakan hukum yang tegas dan adil.

Keduanya sering dikaitkan dengan Rumah Juang Relawan Jokowi, menunjukkan keterkaitan dengan gerakan relawan yang mendukung kebijakan pemerintahan.

THMP kerap menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta menolak intervensi pihak tertentu, seperti partai politik, dalam proses hukum atau kebijakan.

(Tribunnews.com/ Chrysnha)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan