Kamis, 2 Oktober 2025

RI Pilih Hormati Keputusan Prancis Bebaskan Terpidana Mati Serge Atlaoui

Meski divonis mati karena kasus narkoba, Serge Atlaoui kini bebas bersyarat di Prancis. Pemerintah Indonesia memilih menghormati

|
Warta Kota/Nur Ichsan
TERPIDANA MATI - Serge Areski Atlaoui, warga negara Prancis, terpidana mati kasus narkoba, saat menjalani sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Rabu (11/3/2015). Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah Indonesia menghormati keputusan Prancis yang memberikan pembebasan bersyarat kepada Serge setelah 20 tahun menjalani hukuman. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia menyatakan menghormati keputusan Prancis yang memberikan pembebasan bersyarat kepada Serge Atlaoui, terpidana mati kasus narkoba di Indonesia, setelah menjalani 20 tahun masa hukuman. Keputusan ini didasarkan pada hukum nasional Prancis dan kesepakatan kedua negara yang diteken awal tahun ini.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa Indonesia tidak mempersoalkan keputusan itu.

“Pemerintah RI tidak mempersoalkan pembebasan bersyarat tersebut karena telah sesuai dengan hukum Prancis dan kesepakatan kedua negara,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Rabu (17/7/2025).

Atlaoui merupakan warga negara Prancis yang ditangkap pada 2005 karena terlibat dalam pengoperasian pabrik ekstasi di Tangerang. Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis mati pada 2007. Namun pada 2024, ia dipulangkan ke negaranya atas dasar pertimbangan kemanusiaan setelah didiagnosis mengidap kanker.

Menurut Yusril, sebelum pembebasan bersyarat diberikan, pengadilan di Prancis terlebih dahulu mengubah hukuman Atlaoui dari mati menjadi 30 tahun penjara, sesuai batas maksimum pidana di sana. Berdasarkan hukum Prancis, narapidana bisa mendapat pembebasan bersyarat setelah menjalani dua pertiga masa hukumannya.

“Masa tahanan 20 tahun yang telah dijalani Atlaoui di Indonesia telah memenuhi syarat dua pertiga dari 30 tahun itu,” jelas Yusril.

Baca juga: Hambali Hadapi Pengadilan Militer AS, Yusril: Status Kewarganegaraannya Belum Dapat Dipastikan

Pemulangan Atlaoui sendiri didasarkan pada Practical Arrangement yang ditandatangani antara Indonesia dan Prancis pada 24 Januari 2025. Kesepakatan itu menegaskan prinsip resiprositas, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap sistem hukum masing-masing negara.

“Keputusan apakah Atlaoui akan dieksekusi, diampuni, atau dikurangi hukumannya setelah dipulangkan menjadi sepenuhnya wewenang Pemerintah Prancis sesuai sistem hukum mereka,” tambah Yusril.

Dalam konteks diplomasi hukum, kerja sama ini membuka peluang serupa bagi Indonesia jika ada WNI yang mengalami perkara serupa di Prancis.

“Kerja sama ini bersifat timbal balik. Di masa depan, Indonesia juga bisa mengajukan permohonan serupa,” tegasnya.

Kasus Atlaoui sempat menjadi perhatian luas karena penolakan grasi oleh Presiden RI pada 2015 dan kampanye internasional yang menyuarakan pembatalan eksekusinya.

Kini, dengan status hukum yang bergeser, Atlaoui bebas bersyarat di tanah kelahirannya, namun tetap berada di bawah pengawasan sistem hukum Prancis.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved