DPR Minta KPK Tidak Khawatir Soal Impunitas Advokat di RUU KUHAP
Soedeson menjelaskan, secara prinsip, KUHAP merupakan hukum acara yang mengatur relasi antara negara dan warga negara dalam proses pidana.
Penulis:
Fersianus Waku
Editor:
Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI sekaligus anggota Panitia Kerja (Panja) Rancangan UU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), Soedeson Tandra, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu khawatir terhadap ketentuan mengenai impunitas advokat dalam draf RUU tersebut.
Soedeson menjelaskan, secara prinsip, KUHAP merupakan hukum acara yang mengatur relasi antara negara dan warga negara dalam proses pidana.
Dalam konteks itu, kata dia, advokat berperan penting dalam membantu warga menghadapi proses hukum.
Namun, Soedeson menyebut bahwa tak jarang advokat justru mengalami kriminalisasi saat menjalankan tugas.
"Nah, warganegara itu harus dibantu oleh yang namanya advokat, ya kan? Nah, advokat itu kadang-kadang dikriminalisasi. Maka itu, kita memberikan impunitas kepada advokat itu dengan catatan untuk melindungi hak warga," kata Soedeson kepada Tribunnews.com pada Senin (14/7/2025).
Dia menambahkan, dalam sistem hukum dikenal prinsip contrarius actus, yakni keseimbangan antara hak dan kewajiban antara negara dan warga.
Menurut Soedeson, peran advokat menjadi bagian dari prinsip keseimbangan tersebut, terutama dalam mengimbangi kewenangan besar yang dimiliki oleh aparat penegak hukum.
"Kalau penyidik diberi hak, maka warga negara juga harus diberi hak. Penyidik juga punya kewajiban, warga negara juga diberi kewajiban, ya kan? Sehingga ada keseimbangan. Nah, kita mencegah namanya kesewenang-wenangan," ujarnya.
Politikus Partai Golkar ini menegaskan, semangat utama dari pengaturan ini adalah untuk memastikan proses penegakan hukum berlangsung secara transparan dan adil.
Oleh Karena itu, Soedeson meminta lembaga antirasuah tersebut tidak perlu khawatir terhadap ketentuan impunitas advokat.
"Seharusnya aparat penegak hukum bukan KPK saja, enggak usah khawatir, karena mereka mempunyai kewenangan yang besar sekali. Menyadap, menangkap, memeriksa alat bukti, memanggil siapa saja. Nah, itu kan besar sekali. Tetapi kewenangan yang besar sekali itu harus diawasi, harus ada keseimbangan," imbuh Soedeson.
Sebelumnya, Panja RUU KUHAP menyepakati dimasukkannya ketentuan mengenai impunitas advokat saat menjalankan tugas pembelaan hukum dalam draf RUU KUHAP.
Ketua Panja RUU KUHAP sekaligus Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa usulan tersebut mengemuka dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) sebelumnya.
Dalam forum itu, kata dia, sejumlah organisasi advokat dan lembaga swadaya masyarakat menyuarakan pentingnya perlindungan hukum bagi advokat, tidak hanya dalam Undang-Undang Advokat, tetapi juga diatur secara eksplisit dalam KUHAP.
"Jadi bukan hanya di UU Advokat tetapi juga di KUHAP," kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, seluruh Fraksi di Komisi III DPR sepakat untuk memasukkan ketentuan tersebut ke dalam Pasal 140 ayat (2) RUU KUHAP.
"Bunyinya seperti ini, 'Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan'," ujar Habiburokhman.
Dia menambahkan, frasa “di luar persidangan” telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Advokat.
"Lalu penjelasannya, yang sering menjadi karet soal itikad baik itu. Yang dimaksud 'itikad baik' yaitu sikap dan perilaku advokat dalam menjalankan tugas dan pendampingan hukum berdasarkan kode etik profesi advokat," ungkapnya.
Habiburokhman beralasan, selama ini banyak advokat merasa kehadirannya dalam pemeriksaan tak memiliki pengaruh nyata.
Sebab, advokat hanya diperbolehkan hadir secara pasif, tanpa ruang menyampaikan keberatan terhadap proses yang tidak adil.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menilai bahwa memasukkan klausul impunitas advokat dalam KUHAP tidak tepat secara yuridis.
Menurut Tanak, KUHAP adalah hukum pidana formil yang hanya mengatur prosedur penegakan hukum, dan bukan tempat untuk menetapkan perlindungan profesi.
"KUHAP adalah hukum acara pidana yang hanya mengatur tata cara penegakan hukum pidana materiil, mulai dari penyelidikan hingga putusan. Bukan tempat untuk mencantumkan perlindungan profesi," kara Tanak kepada wartawan, Sabtu (12/7/2025).
Tanak berpendapat, pengaturan seperti impunitas sebaiknya ditempatkan dalam undang-undang sektoral masing-masing, seperti Undang-Undang Advokat untuk advokat, Undang-Undang Kejaksaan untuk jaksa, dan UU Kehakiman untuk hakim.
“Jika advokat menghendaki impunitas atau perlindungan hukum, hal itu seharusnya diatur dalam Undang-Undang tentang Advokat, seperti halnya perlindungan jaksa diatur dalam UU Kejaksaan,” ujar Tanak.
Tanak berharap DPR dan pemerintah mempertimbangkan ulang substansi pasal tersebut agar tidak terjadi kekeliruan dalam penempatan norma hukum dalam sistem perundang-undangan nasional.
Satu Regu Prajurit TNI Bersenjata Merapat ke Gerbang Utama DPR RI Jelang Demo Ojol Hari Ini |
![]() |
---|
KPK Sebut Penahanan Sekjen DPR Tunggu BPKP Rampungkan Hitungan Kerugian Negara |
![]() |
---|
Christiany Paruntu: Koperasi Desa Merah Putih Harus Libatkan Perempuan, Anak Muda, dan Teknologi |
![]() |
---|
Terciduk Asyik TikTokan saat Rapat, Ahmad Dhani dan Mulan Jameela Didesak Mundur dari DPR |
![]() |
---|
Hari ini Ojol Demo Aksi 179 di Kemenhub, Istana dan DPR, Tuntut Menhub Dudy Purwaghandi Dicopot |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.