Sabtu, 4 Oktober 2025

Syahganda Nainggolan Paparkan Konsekuensi Indonesia Bergabung dengan BRICS

Syahganda memaparkan konsekuensi dari pilihan Indonesia bergabung dengan poros Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).

Penulis: Erik S
HO/Ist
GABUNG BRICS- Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, ketika berbicara di sebuah forum diskusi terbatas yang diselenggarakan Grup Diskusi Patiunus 75 di Senayan Park, Kamis (10/7/2025). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Pemerintah diminta menghitung kembali berbagai kebijakan politik luar negeri Indonesia di tengah gejolak politik global, mulai dari perang Rusia-Ukraina sampai perang Iran-Israel, dan tentu saja persaingan AS dan BRICS.

Prabowo Subianto juga diimbau agar tidak menjadi presiden elitis yang tidak terkoneksi dengan akar rumput karena lebih sering dikelilingi menteri-menteri eks pemerintahan Joko Widodo yang sekadar ingin mempertahankan posisi di lingkaran kekuasaan. 

Demikian antara lain disampaikan Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, ketika berbicara di sebuah forum diskusi terbatas yang diselenggarakan Grup Diskusi Patiunus 75 di Senayan Park, Kamis (10/7/2025) kemarin. 

Syahganda mengawali uraiannya dengan memaparkan konsekuensi dari pilihan Indonesia bergabung dengan poros Brazil, Russia, India, China, dan South Africa (BRICS).

 

Syahganda khawatir pilihan politik ini dipengaruhi oleh kelompok menteri yang hanya sekadar ingin mempertahankan kekuasaan yang telah mereka duduki sejak era pemerintahan yang lalu. 

“Itu kan orang-orang yang selama ini menikmati kekuasaan sebagai ABS, asal bapak senang. Mereka mungkin aja tipu-tipu Prabowo,” ujar Syahganda. 

“Kalau kita mau serius, dihitung. Amerika itu meng-implan kekuatan intelijen dan militer di Indonesia sudah 30 tahun lebih. Kita berani nggak melawan itu. Orang-orang itu (eks menteri Jokowi) bicara gampang-gampang. Amerika itu anggaran militernya 963 miliar dolar AS. Belum lagi anggaran militer NATO sebesar 1,5 triliun dolar AS. Kekuatan kita apa?” urai Syahganda. 

Syahganda mencontohkan salah satu pembicaraanya dengan perwira tinggi TNI yang aktif di dunia intelijen mengenai konsekuensi dari kemarahan Amerika Serikat atas keputusan politik luar negeri Indonesia

Kepada sang perwira tinggi dia bertanya, kalau Amerika Serikat marah pada Indonesia, bisakah Papua dibantu mereka agar merdeka?

Menjawab pertanyaan itu, sang perwira tinggi ini berkata, “Tidak usah Amerika Serikat, proxy (kaki tangan) CIA saja yang bergerak, Papua bisa merdeka.” 

Syahganda mengingatkan bahwa situasi di panggung politik global tidak bisa dianggap main-main.

Tanpa militansi dukungan rakyat semesta, kekuatan Indonesia terlalu kecil saat ini. Apalagi di era Jokowi lalu mentalitas rakyat rusak karena daya beli lemah dan praktek korupsi meluas.

Dia juga mengajak peserta diskusi memikirkan sekali lagi keputusan Amerika Serikat melibatkan diri di tengah perang Iran-Israel dengan menjatuhkan bom di tiga situs nuklir Iran. 

“Kalau orang sudah berani membom negara lain, memang dia akan berhenti? Ya enggak dong. Dia bukan berhenti, tapi mengintai. Dia tidak takut pada Rusia dan pada China, tidak,” kata Syahganda lagi. 

Intinya, Syahganda menggarisbawahi, dirinya belum melihat perhitungan-perhitungan rinci dari kebijakan luar negeri pemerintahan Prabowo yang dirumuskan oleh menteri-menteri eks pemerintahan Jokowi. 

Syahganda berharap agar diskusi menghasilkan sebuah komunike politik yang meminta Presiden Prabowo melibatkan masyarakat luas dalam perumusan kebijakan luar negeri, dan jangan hanya terpaku pada kelompok menteri yang menurutnya rakus. 

Prabowo memang membutuhkan partai-partai politik untuk memenangkan pemilihan presiden. Namun dalam menjalankan kekuasaan, Prabowo harus melibatkan pertimbangan dari masyarakat luas. 

“Menurut saya, tindakan Presiden memilih BRICS sebagai sekutu jangan dianggap sepele. Dia tidak boleh memutuskan sendiri. Maksudnya, dia harus dengar suara aspirasi rakyat dan membangun komando cadangan rakyat militan,” ujar Syahganda lagi.

“Kita perlu buat suatu komunike politik kepada Prabowo agar jangan menjadi presiden yang elitis. Presiden elitis tidak terkoneksi dengan people power. Dalam situasi perang ini sangat berbahaya. Tidak bisa,” demikian Syahganda.

Diskusi terbatas bertema “Dampak Konflik Israel-Iran terhadap Indonesia: Tantangan, Peluang, dan Strategi dalam Menghadapi Dinamika Global” itu dihadiri sejumlah pembicara, yakni Guru Besar Universitas Pertahanan Laksamana TNI (Purn) Prof. Dr. Marsetio, akademisi Universitas Padjadjaran Dr. Dina Sulaeman, dan Wakil Ketua Umum Kadin Pahala Nugraha Manshuri. Diskusi dipandu Swary Utami Dewi.

Hadir sebagai peserta dalam diskusi itu antara lain Bupati Lahat yang juga Ketua Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) Bursah Zarnubi, wartawan senior Nasir Tamara, Staf Khusus Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Abdullah Rasyid, sejumlah pengamat geopolitik seperti Hendrajit, Teguh Santosa, dan Rizal Dharma Putra, aktivis prodemokrasi Said Didu, juga sejumlah mantan duta besar seperti Helmy Fauzi, dan tentu saja tuan rumah Bambang Soesatyo.  

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved