Senin, 29 September 2025

Academia Politica Bicara soal Perubahan Iklim dan Pelestarian Laut di Ambon

Tanpa pemahaman yang kuat, upaya menjaga Ambon dan Maluku dari kerusakan lingkungan akan sulit terwujud

Penulis: Reza Deni
Editor: Erik S
Istimewa/HO-Academia Politica
PERUBAHAN IKLIM: Sebanyak 64 pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), serta mahasiswa mengikuti program pelatihan bagi generasi muda yang diselenggarakan Yayasan Partisipasi Muda (YPM) yakni “Academia Politica”. Program kali ini mengangkat tema “Dampak Perubahan Iklim Ambon: Nelayan Sulit Dapat Ikan, Kita Sulit Dapat Makan” 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Semua warga Indonesia dinilai harus benar-benar memahami isu lingkungan, khususnya bagi warga yang di wilayah Indonesia bagian timur. Hal itu dikatakan Direktur Eksekutif Yayasan Partisipasi Muda (YPM) atau “Academia Politica”, Neildeva Despendya Putri.

Dalam seminar bertemakan “Dampak Perubahan Iklim Ambon: Nelayan Sulit Dapat Ikan, Kita Sulit Dapat Makan”, Neildeva menyampaikan pihaknya adalah organisasi yang berfokus pada pemberdayaan anak muda untuk menjadi agen perubahan, khususnya dalam isu perubahan iklim.

Dia mengatakan tanpa pemahaman yang kuat, upaya menjaga Ambon dan Maluku dari kerusakan lingkungan akan sulit terwujud.

Baca juga: 10 Mitos tentang Perubahan Iklim: Benarkah Kenaikan Suhu 1,5 Derajat Celsius Tidak Terasa Dampaknya?

"Keterkaitan antara perubahan iklim dan politik membuka dengan pertanyaan reflektif: “Kenapa anak muda harus melek politik?” Jawabannya: karena setiap keputusan politik berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (5/7/2025).

Neildeva mencontohkan, kualitas udara  buruk dan penggunaan energi kotor seperti PLTU batubara membuat masyarakat kesulitan bernapas. Di sisi lain, proyek tambang yang didorong pemerintah menyebabkan laut tercemar, sehingga nelayan kesulitan mencari ikan.

“Selama uang masih jadi tujuan utama, keputusan-keputusan soal lingkungan akan terus menyakiti bumi," wanti dia.

Sementara itu, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pattimura, Mike J. Rolobessy, M.T, memaparkan kondisi perubahan iklim di Maluku. Dia menjelaskan, dampak paling nyata dari perubahan iklim di Maluku terlihat pada kerusakan terumbu karang.

"Ativitas manusia seperti pengeboman ikan, pembuangan limbah, penggunaan jangkar kapal secara sembarangan, serta “bameti” (pengambilan biota laut saat air surut) turut memperparah kerusakan tersebut," papar Mike.

"Akibatnya habitat ikan rusak, alga dan tumbuhan laut terganggu, dan ekosistem laut menjadi tidak stabil. Jika kerusakan ini terus berlanjut, banyak spesies laut akan terancam punah. Selain itu, pola migrasi ikan bisa berubah, sehingga nelayan pun kesulitan mencari ikan karena habitat alami ikan menghilang," imbuh dia.

Baca juga: Bagaimana Sekolah Lapang Iklim di Indonesia Membantu Menjaga Panen dari Dampak Perubahan Iklim - WFP

Kemudian, Selfrida M. Horhoruw selaku perwakilan Bidang Pengelolaan Ruang Laut, Dinas Kehutanan dan Perikanan Provinsi Maluku menjelaskan, kondisi eksisting wilayah Maluku, khususnya terkait posisi strategis Maluku dalam ekosistem laut global.

"Provinsi Maluku terletak di kawasan Coral Triangle atau Segitiga Terumbu Karang—wilayah ekosistem laut yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Coral Triangle mencakup area seluas 6 juta km⊃2; yang membentang di enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Sebanyak 76 persen jenis terumbu karang dunia—yaitu 605 dari 798 spesies—ditemukan di kawasan ini," papar dia.

Namun Selfrida mewanti, ekosistem ini terancam oleh berbagai aktivitas manusia seperti penangkapan ikan berlebihan (overfishing), pengeboman ikan, penggunaan energi kotor seperti PLTU batubara dan esploitasi dan pengambilan terumbu karang.

"Semua ini mempercepat perubahan iklim dan pemanasan global, meningkatkan suhu serta keasaman air laut, yang memicu fenomena coral bleaching (pemutihan karang). Coral bleaching berdampak langsung pada kerusakan terumbu karang dan terganggunya ekosistem laut di sekitarnya," kata dia.

Selfrida menyatakan, tanpa terumbu karang, ikan kehilangan habitat yang menyebabkan populasi ikan menurun. Hal ini berdampak besar pada kehidupan nelayan.

Baca juga: Bagaimana Sekolah Lapang Iklim di Indonesia Membantu Menjaga Panen dari Dampak Perubahan Iklim - WFP

"Mereka harus pergi lebih jauh ke tengah laut, membutuhkan lebih banyak bahan bakar, dan mengeluarkan biaya lebih besar. Akibatnya, kondisi ekonomi nelayan menjadi tidak stabil," jelas dia.

Halaman
12

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of

asia sustainability impact consortium

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan