Minggu, 5 Oktober 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI

Politisi PDIP Desak Fadli Zon Stop Penulisan Ulang Sejarah RI: Ada 3 Kategori Denial terhadap HAM

Politisi PDIP Bonnie Triyana menilai, ada tiga kategori denial atau pengingkaran terhadap HAM di balik proyek penulisan ulang sejarah RI.

Tribunnews.com/Fersianus Waku
PENULISAN ULANG SEJARAH - Dalam foto: Anggota Komisi X DPR RI fraksi PDIP, Bonnie Triyana di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (5/11/2024). Politisi PDIP Bonni Triyana mengambil contoh peristiwa pemerkosaan massal 1998, yang mana ia khawatirkan bakal disusun hanya berdasarkan perspektif dari para pelaku, dan menegasikan atau mengesampingkan perspektif korban. 

TRIBUNNEWS.COM - Desakan agar pemerintah menghentikan proyek penulisan ulang sejarah RI masih terus bergema.

Kali ini, desakan datang dari anggota Komisi X dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Bonnie Triyana.

Bonnie menilai, ada tiga kategori denial atau pengingkaran terhadap hak asasi manusia (HAM) di balik proyek yang menelan anggaran sebesar kurang lebih Rp9 miliar tersebut.

Yakni:

1. Literal Denial

2. Interpretative Denial

3. Implicatory Denial

Hal tersebut disampaikan Bonnie dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI dengan Menteri Kebudayaan RI (Menbud) Fadli Zon beserta jajarannya yang digelar di Gedung DPR RI, Rabu (2/7/2025).

Bonnie pun menjelaskan masing-masing dari kategori denial tersebut.

“Kami dari Fraksi PDI Perjuangan menyatakan meminta proyek penulisan sejarah ini stop saja, dihentikan,” kata Bonnie.

“Paling tidak ada tiga kategori. Pertama itu, literal denial. Literal denial ini langsung mengingkari terjadinya sebuah pelanggaran HAM atau kejahatan negara terhadap rakyatnya, itu langsung diingkari,” kata Bonnie.

Baca juga: Anggota DPR PDIP Semprot Fadli Zon usai Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal Mei 98, Desak Minta Maaf

Kemudian, Bonnie menjelaskan kategori denial kedua, interpretative denial.

Yaitu, mengakui kejadiannya, tapi kemudian memberikan penafsiran baru yang mereduksi dampak dan penderitaan itu sendiri.

“Mengakui tapi ada ada interpretasi terhadap peristiwa itu, jadi semacam pengingkaran juga, bahkan mewajarkan peristiwa itu terjadi, karena satu hal tertentu,” ujar Bonnie.

Yang ketiga, implicatory denial yang artinya menerima terjadinya sebuah peristiwa pelanggaran, tetapi tidak bertindak apa-apa atau dengan kata lain, negara tidak mau bertanggung jawab.

Bonnie pun mengkhawatirkan bahwa penafsiran dari penulisan ulang sejarah RI sudah masuk kategori interpretative denial.

“Nah saya khawatir yang terjadi belakangan ini, yang beredar ke mana-mana ini termasuk ke dalam interpretative denial," lanjut Bonnie.

"Jadi, Pak Menteri mengakui, tapi ada semacam tafsiran terhadap makna massal yang kemudian menggeser perdebatan kita hari ini menjadi perdebatan semantic, bukan kepada isi dari substansi persoalan itu sendiri,” tambahnya.

Bonnie juga mengambil contoh peristiwa pemerkosaan massal 1998, yang mana ia khawatirkan bakal disusun hanya berdasarkan perspektif dari para pelaku, dan menegasikan atau mengesampingkan perspektif korban.

“Di mana itu terjadi, kalau terjadi, pasti ada korban dan pelaku, sehingga dalam rangka proyek penulisan sejarah ini jangan sampai nanti ada tuduhan, ini sejarah ditulis berdasarkan perspektif pelaku dari peristiwa pemerkosaan massal itu,” lanjutnya.

Fadli Zon Sebut Progress Proyek Penulisan Ulang Sejarah RI Sudah 80 Persen

Dikutip dari Kompas.com, sebelum Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI digelar, Fadli Zon mengungkap bahwa progres penulisan ulang sejarah nasional Indonesia mencapai 80 persen.

"Itu kan para sejarawan yang nulis ya, jadi progresnya sekitar 80 persen. Penulisan sejarah itu yang menulis adalah para sejarawan yang memang profesional," kata Fadli Zon di fasilitas penyimpanan koleksi ilmiah arkeologi milik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Cibinong, Kabupaten Bogor, Senin (30/6/2025).

Menurutnya, penulisan sejarah melibatkan para sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia melalui pendekatan ilmiah dan faktual.

Fadli Zon menyampaikan bahwa Indonesia telah lebih dari dua dekade tidak melakukan penulisan sejarah secara menyeluruh.

Ia menilai banyak peristiwa penting dalam lintasan kepemimpinan nasional, mulai dari era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang belum tercatat secara utuh dalam narasi sejarah nasional.

Fadli menegaskan bahwa revisi sejarah bukan bertujuan untuk mengubah fakta, melainkan untuk memperbarui dan melengkapi narasi berdasarkan temuan arkeologis dan dokumentasi yang selama ini terabaikan.

(Tribunnews.com/Rizki A.) (Kompas.com)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved