Rabu, 1 Oktober 2025

Sopir Truk Demo ODOL

Pilu Slamet Barokah Jual Truk demi Patuh Zero ODOL: Kami Taat, Tapi Negara ke Mana?

Sementara kewajiban harian tetap menanti seperti makan, sekolah anak, dan cicilan hidup yang tak bisa ditunda.

Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow
RUU ODOL - Sopir truk asal Banyuwangi sekaligus Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia, Slamet Barokah, usai audiensi dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Aan Suhanan, di kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Ia menyampaikan dampak kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (Zero ODOL) yang kini menjerat penghidupan ribuan sopir truk. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTASlamet Barokah tatapannya kosong dan kerap mengernyitkan dahi usai audiensi dengan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Aan Suhanan, di kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (2/7/2025).

Siang itu, lebih dari seratus sopir truk dari berbagai penjuru negeri berkumpul. Mereka tak datang untuk merayakan apa pun, melainkan menyuarakan jeritan yang tak kunjung terdengar dari balik kaca tebal kantor pemerintahan.

Di tengah kerumunan itu, Slamet bukan sekadar sopir biasa. Ia adalah Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia, sekaligus penyintas nyata dari dampak kebijakan Zero Over Dimension Over Loading (Zero ODOL) yang kini menjerat penghidupan ribuan sopir truk.

Sebagai sopir truk asal Banyuwangi, Slamet tahu betul bagaimana getirnya hidup di jalanan. 

Tapi, sebagai Ketua Asosiasi Sopir Logistik Indonesia, ia juga memanggul beban kolektif ribuan sopir lain yang menghadapi nasib serupa.

Dan ketika tak lagi mampu mengangkut muatan karena memilih taat pada aturan Zero ODOL, Slamet terpaksa menjual satu-satunya truk miliknya.

“Saya enggak dapat orderan. Nganggur sampai dua bulan, sampai jatuh,” kata Slamet.

“Saya punya kendaraan satu, saya jual waktu itu. Dan sekarang sudah mulai bisa kembali normal.”

Baca juga: Audiensi Zero ODOL dengan Kemenhub dan Kemenko Infrastruktur Buntu, Sopir Truk Ancam Mogok Nasional

Namun, “normal” yang dimaksud Slamet tak seperti dulu. Tahun ini terasa makin berat karena orderan menurun drastis, bahkan tak jarang tak ada sama sekali.

Slamet mengaku kesulitan mendapatkan muatan, apalagi sejak banyak proyek logistik mandek usai pergantian pemerintahan dan menggencarkan efisiensi anggaran.

Sementara kewajiban harian tetap menanti seperti makan, sekolah anak, dan cicilan hidup yang tak bisa ditunda.

Duduk Perkara

Aksi damai hari itu menyasar langsung pembahasan RUU ODOL—bagian dari revisi UU LLAJ yang memperketat aturan batas dimensi dan muatan kendaraan.

Salah satu pasal yang paling disorot oleh para sopir adalah potensi kriminalisasi terhadap pelanggar, termasuk mereka yang hanya menjalankan perintah perusahaan.

“Kenapa sih mereka enggak mau cari tahu? Kenapa sampai ada kendaraan over kapasitas? Itu kan karena sistem yang memaksa,” ujar Slamet dengan nada kecewa.

Baca juga: Ada Wacana Kenaikan Tarif Ojol, Kemenhub: Belum Final 

Slamet menegaskan, para sopir bukan tidak ingin patuh. Tapi beban ekonomi, tekanan tenggat waktu, dan minimnya tarif angkutan kerap memaksa mereka memilih antara melanggar aturan atau tidak makan.

Taat Tapi Tersisih

Patuh pada aturan ternyata tak menjamin kelangsungan hidup. Slamet adalah buktinya.

Ia rela kehilangan truk demi tak lagi mengangkut muatan ODOL.

Namun, pengorbanannya tak dibalas dengan dukungan. Tak ada perlindungan. Tak ada solusi.

“Kami muat seadanya. Dulu bisa lima unit, sekarang cuma dua. Bagaimana enggak rugi?” katanya.

Di saat pemerintah gencar menertibkan kendaraan ODOL, para sopir justru merasa ditinggalkan. Banyak proyek logistik berhenti sejak pergantian pemerintahan. Order makin sedikit, dan para sopir makin terdesak.

Bagi Slamet, ini bukan lagi soal aturan, tapi soal keadilan struktural.

“Negara bisa bikin aturan, kami juga bisa patuh. Tapi tolong, hadir juga pas kami butuh,” katanya.

Aspirasi yang Masih Terbentur

DEMO PENGEMUDI TRUK - Sejumlah truk bermuatan berat terparkir saat aksi damai soal nol kelebihan muatan atau zero over dimensi over loading (ODOL) di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Aksi yang dilakukan oleh Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) dan Asosiasi Sopir Logistic Indonesia tersebut menuntut pemerintah mengkaji kembali RUU nol kelebihan muatan dan dimensi atau zero over dimensi over loading. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
DEMO PENGEMUDI TRUK - Sejumlah truk bermuatan berat terparkir saat aksi damai soal nol kelebihan muatan atau zero over dimensi over loading (ODOL) di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Aksi yang dilakukan oleh Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) dan Asosiasi Sopir Logistic Indonesia tersebut menuntut pemerintah mengkaji kembali RUU nol kelebihan muatan dan dimensi atau zero over dimensi over loading. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

Audiensi para sopir dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat hari itu gagal menghasilkan kesepakatan.

Slamet menyebutnya “buntu”, karena tak ada komitmen tindak lanjut yang konkret.

“Kami datang jauh-jauh, enggak dibayar, ninggalin keluarga. Tapi malah enggak ada solusi,” ujarnya.

Namun, pemerintah punya versi berbeda.

Dirjen Perhubungan Darat Aan Suhanan menyebut tak ada deadlock, hanya perbedaan pemahaman soal program.

"Sebetulnya tidak ada deadlock. Kami mendengarkan semua aspirasi," katanya.

Pernyataan itu menunjukkan betapa lebar jarak antara para pengambil keputusan dan pelaku di lapangan.

Para sopir menginginkan bukan hanya didengar, tapi dipahami dan dilibatkan dalam setiap kebijakan yang menyangkut hidup mereka.

Baca juga: Bak Mukjizat, Bocah Selamat Usai Terjatuh dari Bus TNI dan Nyaris Tergilas di Tol JORR

Bukan Hanya Soal ODOL

Masalah yang dibawa para sopir tak sebatas Zero ODOL. Mereka juga menuntut:

  • Penetapan tarif minimum angkutan barang,
  • Pemberantasan pungutan liar dan premanisme di jalan dan pelabuhan,
  • Subsidi atau insentif bagi pengemudi yang mematuhi aturan,
  • Dan perlindungan hukum bagi sopir yang hanya menjalankan perintah.

“Biar kami bisa kerja dengan tenang, enggak terus-terusan waswas bakal ditilang atau dikriminalkan,” ucap Slamet.

Negara Harus Hadir, Tak Cukup Menegur

Bagi Slamet, perjuangan ini bukan hanya soal dirinya. Ia membawa suara dari sopir-sopir di pelosok negeri yang tak punya akses bicara langsung ke pusat kekuasaan.

“Kami taat, tapi negara ke mana?” ucap Slamet lirih.

Baca juga: Tak Lagi Fokus Tilang, Polisi Lalu Lintas Akan Gencar Edukasi Keselamatan Berkendara

Kalimat itu bukan sekadar retorika. Itu jeritan dari lapisan rakyat yang memilih patuh, tetapi justru tersingkir.

Dari mereka yang menjual truk, kehilangan pekerjaan, dan masih terus mencoba bertahan di tengah negara yang belum sepenuhnya berpihak.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved