Penulisan Ulang Sejarah RI
7 Pihak Semprot Fadli Zon yang Bilang Rudapaksa Mei 1998 Hanya Rumor, Ragu Bukti TPGF dan Habibie?
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mendapat kritikan dan sindiran dari berbagai pihak karena menyebut rudapaksa kekerasan seksual saat Mei 1998 hanya rumor
Penulis:
Facundo Chrysnha Pradipha
Editor:
Siti Nurjannah Wulandari
TRIBUNNEWS.COM - Pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang menganggap kekerasan seksual seperti rudapaksa pada kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor semata mengundang kritik dari berbagai pihak.
Sebelumnya Fadli Zon mengklaim, sampai saat ini belum ada bukti nyata terkait tuduhan adanya rudapaksa terhadap perempuan yang bisa dipercaya.
Mengingat kembali dokumen sejarah, Presiden ke-3 RI, BJ Habibie dalam pidatonya pada 15 Agustus 1998 mengakui adanya tindak kekerasan seksual terhadap perempuan saat kerusuhan Mei 1998.
Mewakili pemerintah saat itu, Habibie mengungkap telah mengantongi bukti-bukti adanya tindak pidana, termasuk rudapaksa.
Lantas berangkat dari hal itu, sejumlah pihak yang mengkritik Fadli Zon bersuara hingga melayangkan sindiran.
Mulai dari aktivis hingga duta besar.
Berikut rangkumannya:
1. Usman Hamid
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid mengatakan pernyataan Fadli Zon tersebut adalah kekeliruan yang fatal.
"Seperti kita tahu Menteri Kebudayaan menyatakan bahwa perkosaan selama kerusuhan Mei 1998 adalah rumor. Nah Pernyataan ini mengandung kekeliruan yang fatal," ujar Usman pada konferensi pers daring, Jumat (13/6/2025).
Rumor, kata Usman, mengandung arti bahwa cerita atau laporan yang beredar di masyarakat yang kebenarannya tidak pasti.
Baca juga: Fadjroel Rachman Bicara Kutukan jika Kekerasan Seksual Mei 1998 Terulang, Sindir Fadli Zon?
Dirinya menegaskan bahwa tragedi pemerkosaan saat kerusuhan tahun 1998 bukanlah rumor.
"Saya kira itu bukan rumor dan kenapa bukan rumor? pertama, karena ada otoritasnya jadi kalau definisi rumor itu adalah semacam cerita atau laporan yang beredar luas di dalam masyarakat tanpa ada otoritas yang mengetahui kebenarannya secara faktual, ada otoritasnya," kata Usman.
Padahal, menurut Usman, peristiwa pemerkosaan massal dan kekerasan seksual terhadap perempuan di masa-masa kerusuhan Mei telah diputuskan secara bersama oleh Menteri Pertahanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung.
"Jadi ada otoritas yang mengetahui kebenaran peristiwa itu dengan demikian, pernyataan Menteri Kebudayaan kehilangan kredibilitasnya," ucapnya.
Selain itu, menurut Usman, seharusnya Pemerintah membentuk pengadilan hak asasi manusia atau pengadilan apapun untuk memeriksa keseluruhan laporan dan bukti-bukti yang terkait dengan perkosaan massal.
"Kalau Menteri Keberdayaan tidak merujuk pada otoritas yang resmi maka pernyataan itu sama dengan pernyataan yang kosong. Itu sama seperti Menteri Koordinator Bidang Hukum Hak Asasi Manusia Lembaga Pemasyarakatan dan Imigrasi, Yusril Ihsan Mahendra yang pada hari pertama, setelah dilantik dalam kabinet pemerintahan sekarang menyangkal bahwa tragedi 98 adalah pelanggaran HAM berat tragedi 98," katanya.
Pemerintah, kata Usman, seharusnya merujuk pada otoritas yang mengetahui kebenarannya, yakni Komnas HAM dan menteri-menteri yang telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta.
Menurut Usman, mereka merupakan otoritas karena mereka diberikan tugas resmi oleh undang-undang dalam penyelidikan Komnas HAM terkait dengan kerusuhan Mei.
"Jelas hanya Komnas HAM yang berwenang untuk melakukan penyelidikan atas sebuah peristiwa yang sifat dan lingkupnya dapat disebut sebagai pelanggaran HAM berat atau bukan. jadi saya kira pernyataan Menteri Kebudayaan kehilangan kredibilitasnya," pungkasnya.
2. Koalisi Perempuan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menanggapi pernyataan Menteri Kebudayaan yang menyebut pemerkosaan massal pada tahun 1998 hanya rumor.
Dirinya menegaskan bahwa pemerkosaan terhadap perempuan pada tragedi kerusuhan 1998 bukanlah kejadian fiksi.
"Jadi tragedi Mei ini bukan fiksi ya, atau apalagi diabsurdkan dengan bahwa tidak ada data yang signifikan atau yang lain ya," kata Mike pada konferensi pers daring, Jumat (13/6/2025).

Mike mengatakan korban dapat mengalami luka ganda akibat dari kejadian ini.
Menurutnya, luka tersebut tidak hanya secara fisik, juga secara batin dan belum sembuh.
"Bagaimana korban ini ya. Bagaimana sebenarnya mereka mungkin akan mengalami berlipat ganda luka ya, bukan cuma luka di fisik, di batin, tetapi luka yang mungkin belum sembuh tetapi karena momentum ini juga pastinya punya dampak," katanya.
Dirinya mempertanyakan motif pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya tragedi 1998.
Tragedi 1998, menurut Mike, memberikan memori kolektif yang sangat dalam bagi para korban dan publik.
"Apa sih sebenarnya yang apa ya, pernyataan Fadli Zon ini ya. Apa ini? Ini kita sedang mengarah kepada momentum apa. Padahal kita tahu betul bagaimana tragedi Mei dan bagaimana ini punya dampak juga untuk bukan hanya mungkin korban menjadi terdampak langsung, tapi kita punya memori kolektif yang itu dimiliki oleh siapa saja," jelasnya.
Selain itu, Mike menegaskan bahwa dunia internasional juga melihat tragedi 98 ini bukan hanya sekadar tragedi biasa.
"Tetapi ini bentuk atau tonggak pelanggaran HAM yang direkognisi oleh banyak pihak termasuk dunia internasional, dan bagaimana sebenarnya proses-proses itu juga komitmen pemulihannya atau rehabilitasinya atau bagaimana sebenarnya negara ini harus berbesar hati ya mengakui itu dan meminta maaf," ujarnya.
3. Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas pun menilai pernyataan Fadli Zon tersebut berupaya untuk menghapus jejak pelanggaran HAM yang terjadi saat Peristiwa Mei 1998, khususnya terkait peristiwa kekerasan seksual.
Secara keseluruhan, Fadli Zon juga dianggap tengah meniadakan narasi terkait Orde Baru dari proyek revisi penulisan sejarah yang telah digarap oleh kementerian yang dipimpinnya.
"Tindakan ini pun merupakan kemunduran negara dalam menjamin perlindungan kepada perempuan dan justru semakin memperkuat citra maskulinitas negara," demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil.
Fadli Zon juga dipandang tengah berupaya memutus ingatan kolektif dan mengkhianati perjuangan para korban untuk memperoleh pengakuan, keadilan, kebenaran, dan pemulihan.

Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan pelanggaran berat HAM adalah bentuk komitmen dalam membentuk sejarah yang mempersatukan bangsa sebagai bagian tidak terpisahkan dalam sejarah Indonesia sekaligus menjadi pembelajaran generasi mendatang.
Terpisah, sejarawan sekaligus aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, mendesak Fadli Zon, untuk meminta maaf setelah menyebut tidak adanya korban pemerkosaan saat tragedi Mei 1998.
Ita mengatakan pernyataan Fadli tersebut kebohongan publik.
Padahal, fakta adanya pemerkosaan terhadap perempuan saat Mei 1998 tertulis dalam buku sejarah dan temuan dari tim gabungan pencari fakta (TGPF) era Presiden ke-3 RI, BJ Habibie.
"Apa yang dikatakan Fadli Zon adalah dusta. Fakta perkosaan massal tertulis jelas di Buku Sejarah Nasional Jilid 6 halaman 699, termasuk temuan TGPF yang diserahkan ke Presiden Habibie," ujarnya dalam pertemuan daring di YouTube Koalisi Perempuan Indonesia, Jumat (13/6/2025).
Bahkan, temuan TGPF tersebut merupakan tonggak awal mula lembaga independen seperti Komnas Perempuan.
Ita mengungkapkan pernyataan Fadli tersebut juga wujud pembangkangan terhadap negara.
Pasalnya, sambung Ita, tragedi Mei 1998 termasuk dengan segala peristiwa di dalamnya seperti pemerkosaan massal sudah diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat.
"Presiden Jokowi pun ada 2023 menetapkan 12 pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Mei 1998, melalui rekomendasi PP HAM. Fadli sebagai menteri justru mengingkari keputusan negara," jelasnya.
Ita juga mengungkapkan kematian aktivis perempuan sekaligus korban pemerkosaan Mei 1998 yang bernama Ita Martadinata menjadi bukti adanya tindakan amoral tersebut.
Bahkan, dia juga mengaku ada sejumlah korban menghubunginya untuk bertanya apakah perlu untuk bertestimoni terkait peristiwa pemerkosaan yang dialaminya.
Menurutnya, beragam fakta tersebut menjadi bukti bahwa peristiwa pemerkosaan saat tragedi Mei 1998 benar-benar terjadi.
Sehingga, dia mendesak agar Fadli meminta maaf terkait pernyataannya yang menyebut tidak adanya pemerkosaan pada Mei 1998.
"Fadli bahkan membantah temuan TGPF yang diakui negara. Ini bentuk pengkhianatan terhadap korban," ujarnya.
4. Warga Tionghoa
Hendra Setiawan Boen, warga keturunan Tionghoa yang tinggal di Jakarta.
“Sebagai Warga Negara Indonesia, saya mengecam keras pernyataan Fadli Zon. Menyebut pemerkosaan saat Kerusuhan Mei 1998 sebagai rumor adalah bentuk penyangkalan sejarah yang tidak bisa diterima,” kata Hendra dalam pernyataannya kepada media, Minggu (15/6/2025).
Praktisi hukum itu mengingatkan bahwa pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan temuan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk negara pasca-kerusuhan 1998.
TGPF menyimpulkan adanya bukti kuat bahwa terjadi pemerkosaan massal yang menargetkan perempuan etnis Tionghoa secara sistematis dan terorganisir, dengan sedikitnya 66 kasus terverifikasi di Jakarta saja. Ini bukan desas-desus, melainkan hasil investigasi yang sah dan diakui negara.
“Pernyataan Fadli Zon bukan hanya bentuk pengingkaran terhadap hasil kerja TGPF, tapi juga mengkhianati upaya panjang pencarian keadilan yang dilakukan para penyintas, keluarga korban, dan masyarakat sipil selama lebih dari dua dekade,” ucap Hendra.

Dia menekankan bahwa luka kolektif akibat kekerasan berbasis etnis dan gender pada Mei 1998 masih belum pulih, dan komentar semacam ini justru memperparah trauma yang belum sembuh.
Hendra juga menyoroti pentingnya mengingat sejarah sebagai langkah krusial untuk mencegah berulangnya kekerasan serupa di masa depan.
“Menyangkal sejarah sama saja dengan menghapus pelajaran penting yang bisa menyelamatkan generasi berikutnya dari siklus kebencian dan diskriminasi. Memaafkan dan melakukan rekonsiliasi tidak berarti melupakan. Justru pengakuan atas kebenaran adalah fondasi bagi keadilan yang sejati,” ujarnya.
Ia menyerukan agar Fadli Zon secara terbuka meminta maaf kepada para korban kekerasan seksual 1998 dan kepada publik luas atas pernyataannya yang dianggap mencederai martabat korban dan merusak ingatan kolektif bangsa.
Ia juga mendesak para pejabat publik untuk bertanggung jawab menjaga integritas sejarah, bukan mengaburkan fakta demi kenyamanan politik.
“Melupakan sejarah kelam adalah bentuk kekerasan kedua terhadap para korban," ucapnya.
"Dan ketika pelaku penyangkalan adalah seorang pejabat negara, maka itu bukan sekadar kekhilafan—melainkan ancaman serius bagi demokrasi, kemanusiaan, dan keadilan,” paparnya.
5. Korban Mei 1998
Masyarakat Tionghoa serta korban dan penyintas kekerasan seksual tragedi Mei 1998, merespons pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon.
Diyah Wara Restiyati dari Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia menyatakan bahwa hingga saat ini, masyarakat Tionghoa belum sepenuhnya tercatat dalam sejarah Indonesia.
"Mulai dari masa sebelum kemerdekaan sampai reformasi, sejarah masyarakat Tionghoa belum masuk. Ketika Bapak Fadli Zon mengatakan tidak ada kekerasan terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998, itu melukai kami," ujarnya dalam konferensi pers Aliansi Perempuan Indonesia, Sabtu (14/6/2025).
Diyah membagikan pengalaman pribadinya selama Tragedi Mei 1998 saat masih bersekolah di SMA.
"Saya terus berkomunikasi dengan teman-teman di Jakarta Barat dan Tangerang. Kondisinya sangat genting. Telepon sering terputus. Ketika tersambung, mereka bercerita bisa menyelamatkan diri karena penampilan mereka tidak terlalu menonjolkan ciri Tionghoa," ujarnya.
Salah satu temannya bahkan memilih mengungsi ke Singapura dan tak kembali hingga sekarang.
"Trauma itu nyata," tegas Diyah.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual Mei 1998 sebagai rumor tanpa bukti memicu reaksi keras dari berbagai kelompok perempuan.
"Sebagai penyintas, pernyataan Fadli Zon memperparah luka kami. Ini bukti negara mengabaikan penyelesaian pelanggaran HAM," kata Tuba Falopi dari FAMM Indonesia.

Tuba menambahkan, Fadli Zon seolah banyak membaca sejarah, tetapi justru meminggirkan fakta Mei 1998.
"Negara gagal melindungi dan memilih menutup mata," kata dia.
Menurutnya, kekerasan seksual saat itu menjadi instrumen kekuasaan yang brutal.
Koalisi perempuan menuntut permintaan maaf dari Fadli Zon dan menolak upaya penulisan ulang sejarah yang mengabaikan peran perempuan.
"Kami berdiri untuk keadilan dan pengakuan atas penderitaan korban," kata Tuba.
6. Fadjroel Rachman
Duta Besar Indonesia di Kazakhstan, Fadjorel Rachman membagikan pernyataan Presiden ke-3 RI, BJ Habibie tentang kekerasan terhadap perempuan pada Mei 1998.
Fadjroel yang juga bagian dari aktivis 1998 itu ingin berbagi cerita sejarah kelam yang pernah diungkap Habibie dalam sebuah pidato.
Pada akun LinkedIn dan X miliknya, Fadjorel mengunggah ulang video pidato Habibie serta selembar gambar surat pernyataan.
Yakni tentang kecaman terhadap kekerasan seksual (korban perempuan) yang terjadi pada Mei 1998.
Fadjroel menegaskan, sejarah kelam yang dilupakan akan dikutuk untuk terulang kembali.
Unggahan tersebut diunggahnya di tengah polemik pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon belakangan.
Berikut unggahan Fadjroel yang diunggah pada Minggu (15/6/2025):
"Pernyataan Presiden Republik Indonesia ke-3 Prof. B. J. Habibie tentang Kekerasan Terhadap Perempuan yang terjadi pada pertengahan Mei 1998. Sejarah kelam yang dilupakan akan dikutuk untuk terulang kembali.
Forgiven but not Forgotten ~
#BungFADJROEL #TragediMei1998 #Reformasi1998."

7. Hugo PDIP
Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), Andreas Hugo Pareira mengkritisi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Andreas menegaskan, sejarah harus ditulis berdasarkan fakta, bukan disesuaikan dengan kepentingan politik sesaat.
"Polemik soal penulisan sejarah yang faktual dan objektif penting untuk menjadi pelajaran bangsa ini untuk belajar dari sejarah. Jasmerah, jangan sekali-kali melupakan sejarah, begitu kata Bung Karno. Forgive but not forget, kata Nelson Mandela," kata Andreas kepada Tribunnews.com, Senin (16/6/2025).
Menurut Andreas, pernyataan tokoh-tokoh dunia tersebut mencerminkan pentingnya kejujuran dalam menulis sejarah, termasuk peristiwa pahit yang pernah terjadi.

"Memanipulasi, menutup-nutupi peristiwa sejarah hari ini sama saja dengan membohongi diri, membohongi bangsa," ujarnya.
Lebih jauh, Andreas menolak gagasan bahwa fakta sejarah bisa diabaikan demi alasan persatuan nasional.
"Tidak ada manfaatnya kalau buku sejarah ditulis untuk membangun persatuan tetapi menutupi fakta sejarah yang penting," ucapnya.
"Karena justru ini akan menimbulkan kecurigaan dan luka yang tidak terobati dan akan membusuk dalam perjalanan waktu," tegas Andreas.
Temuan BJ Habibie
Dalam pernyataannya, Habibie mengungkapkan penyesalan mendalam atas terjadinya berbagai bentuk kekerasan, khususnya terhadap perempuan, yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan Habibie setelah menerima laporan dari para tokoh masyarakat yang tergabung dalam gerakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Laporan itu disertai bukti-bukti nyata dan otentik mengenai kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada pertengahan Mei 1998.
“Atas nama pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia, saya mengutuk keras berbagai aksi kekerasan yang terjadi dalam peristiwa kerusuhan di berbagai tempat secara bersamaan, termasuk kekerasan terhadap perempuan,” ujar Presiden Habibie.

Habibie juga menegaskan bahwa pemerintah akan bersikap proaktif dalam memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada seluruh lapisan masyarakat, guna mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.
Lebih lanjut, ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama dengan pemerintah.
Habibie Presiden meminta agar masyarakat segera melaporkan kepada aparat apabila mengetahui adanya tanda-tanda atau potensi kekerasan terhadap perempuan, di mana pun dan dalam bentuk apa pun.
Pernyataan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menegakkan hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap perempuan, serta menandai langkah awal dalam upaya rekonsiliasi dan penegakan keadilan pasca tragedi nasional tersebut.
"Setelah saya mendengar laporan dari ibu-ibu tokoh Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dengan bukti-bukti yang nyata dan otentik, mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk apa pun juga di bumi Indonesia pada umumnya dan khususnya yang terjadi pada pertengahan bulan Mei 1998, menyatakan penyesalan yang mendalam terhadap terjadinya kekerasan tersebut yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia," kata Habibie.
Dalam pernyataannya, Habibie atas nama kepala negara saat itu tidak hanya mengakui dan menyesal.
Habibie juga menjanjikan pemerintah akan memberikan perlindungan keamanan kepada seluruh masyarakat untuk menghindari terulangnya kasus serupa yang disebut "sangat tidak manusiawi dalam sejarah bangsa Indonesia".
Habibie juga meminta agar masyarakat meningkatkan kewaspadaan dan melaporkan segera jika melihat adanya kekerasan terhadap perempuan di mana pun.
Di akhir pernyataannya, Habibie kembali menegaskan atas nama pemerintah mengutuk aksi kekerasan dan peristiwa kerusuhan yang terjadi, termasuk kekerasan terhadap perempuan.
Pergantian tampuk kepemimpinan negeri ini dari rezim Orde Baru menuju Era Reformasi diawali dengan pembentukan berbagai lembaga baru.
Kelahiran pertama lembaga baru tersebut adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang ditetapkan lewat Presiden No. 181 Tahun 1998, pada tanggal 9 Oktober 1998.
Karenanya, lembaga yang berkantor di Jalan Latuharhary Nomor 4B, Menteng, Jakarta Pusat ini sering dijuluki sebagai "Anak Sulung Reformasi".
Mereka kemudian dikuatkan oleh Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 Junto Peraturan Presiden No 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Lembaga yang berusia 26 tahun ini ditugaskan untuk menjaga agar peristiwa perkosaan massal tidak terulang lagi.
Kata Fadli Zon
Sebelumnya, saat siniar bersama jurnalis senior Uni Lubis, Fadli Zon menjawab pertanyaan mengapa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut.
Fadli menyatakan hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan belum memiliki dasar bukti kuat.
“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita nggak pernah tahu ada nggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya.
Fadli mempertanyakan klaim tentang adanya rudapaksa massal dalam peristiwa tersebut.
Politikus Partai Gerindra itu menyebut sampai saat ini tidak ada bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis.
“Nah, ada rudapaksa massa betul nggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Nggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada nggak di dalam buku sejarah itu? Nggak pernah ada,” ucapnya.
(Tribunnews.com/ Chrysnha, Fahdi Fahlevi, Yohanes Liestyo Poerwoto, Chaerul Umam, Fersianus Waku)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.