Revisi UU Pemilu
Kemendagri Tidak Gunakan Metode Omnibus Law untuk Revisi UU Pemilu
Ia juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU Pemilu jangan sampai hanya mengakomodir kepentingan elite politik.
Penulis:
willy Widianto
Editor:
Acos Abdul Qodir
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus mematangkan konsep dan menyamakan perspektif terhadap isu-isu strategis terkait rencana Revisi Undang-undang Pemilu tahun 2025.
Wakil Kementerian Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto mengatakan pentingnya kejelasan arah dan tujuan dalam proses revisi UU Pemilu.
"Kami ingin memastikan cara pandang pemerintah dalam mengidentifikasi isu-isu strategis tepat sasaran. Revisi ini bukan sekadar teknis, tapi harus punya fondasi kuat: memperkuat sistem presidensial, kualitas representasi, dan sesuai dengan otonomi daerah," kata Bima Arya saat acara diskusi Forum Populi bertajuk 'Revisi UU Pemilu: Tata Kelola Demokrasi Partisipatif Berbasis Inovasi', di Jakarta, Rabu(11/6/2025).
Lebih lanjut, Bima menjelaskan bahwa pemerintah telah memilih pendekatan kodifikasi bukan omnibus law, sebagai metode revisi.
Kodifikasi ini akan menyatukan UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik ke dalam satu kerangka hukum terpadu yang sistematis, berbasis pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
"Kita akan membuat Undang-Undang baru yang menyatukan berbagai aturan, dengan fokus sistematis pada isu-isu seperti keserentakan pemilu, sistem kepartaian, pendanaan politik, dan integrasi bangsa," ujarnya.
Baca juga: Bawaslu: Pilkada Barito Utara Jadi Bukti Politik Uang Masih Jadi Masalah Serius
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin mengatakan secara substansi setuju dengan pernyataan Bima Arya Sugiarto mengenai tujuan dalam perubahan revisi UU ini.
“Sebelum melakukan perubahan, penting untuk lebih dulu menetapkan apa tujuan dari perubahan tersebut. Tujuan kita sebenarnya bisa kita lihat dari pengalaman pemilu selama ini. Dari pengalaman itu kita bisa mengarah kepada aturan yang merawat demokrasi, menjaga suara publik, dan kita harus semakin menegaskan hal ini,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU Pemilu jangan sampai hanya mengakomodir kepentingan elite politik.
Terkait penentuan ambang batas parlemen, menurutnya permasalahannya bukan berapa jumlah partai di parlemen, tapi bagaimana partai yang masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa menjalankan perannya dengan efektif, baik koalisi partai pemenang maupun partai yang berperan sebagai penyeimbang.
Yose Rizal selaku Founder Pemilu AI mengatakan bahwa teknologi termasuk AI dalam kampanye pemilu saat ini perlu diatur oleh Undang-Undang.
Menurutnya, teknologi dapat menopang proses pemilu yang efektif dan efisien, mulai dari biaya kampanye, pengawasan terhadap kecurangan, dan lainnya. Ini juga termasuk keterbukaan dalam mengakses data terkait pemilu yang seharusnya menjadi milik publik.
“Potensi AI ini besar, jutaan data bisa diolah dengan cepat. Strategi kampanye bisa disimulasikan dulu. Ancamannya memang ada, tapi jangan sampai kita justru hanya dapat ancamannya tapi tidak dapat manfaatnya,” ujar Yose.
Baca juga: Rencana Perubahan UU Pemilu, Bawaslu Usul Mekanisme Penegakan Hukum Pemilihan yang Terintegrasi
Direktur Fasilitasi Pemantauan Riset dan Inovasi Daerah BRIN, Mochammad Nurhasim, juga ikut menanggapi. Menurutnya kodifikasi adalah metode yang memungkinkan dalam revisi UU, namun tujuan penyelarasan asas pemilu juga jangan sampai dilupakan.
Nurhasim juga menegaskan soal substansi perubahan jika tidak ada perubahan akan terjadi kepincangan norma, dan kodifikasi menjadi penting untuk menyelaraskan Pilkada dan Pemilu.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.