Tambang Nikel di Raja Ampat
Profil 4 Perusahaan Tambang Nikel di Raja Ampat, dari Anak Usaha BUMN hingga Perusahaan China
4 perusahaan nikel: PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup mendapatkan temuan, ada empat tambang nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang ternyata bermasalah dan mengancam ekosistem.
Temuan itu berdasarkan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, pada 26-31 Mei 2025.
Keempat perusahaan tambang nikel itu adalah PT Gag Nikel (PT GN), PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM), PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), dan PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).
Semua perusahaan tersebut diketahui telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan, tetapi hanya tiga perusahaan saja yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), yakni PT GN, PT KSM, dan PT ASP.
Hasil pengawasan menunjukkan empat perusahaan itu telah melakukan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
Diberitakan TribunJakarta.com, PT Anugerah Surya Pratama, yang merupakan perusahaan Penanaman Modal Asing asal China, diketahui melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas kurang lebih 746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian.
Sementara itu, PT Gag Nikel, yang merupakan anak usaha BUMN PT Aneka Tambang (Antam) Tbk, beroperasi di Pulau Gag dengan luas ±6.030,53 hektare.
Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kemudian, PT Mulia Raymond Perkasa, ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele.
Sehingga, seluruh kegiatan eksplorasi di sana pun sudah dihentikan.
Sementara itu, PT Kawei Sejahtera Mining, terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektare di Pulau Kawe, sehingga menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai.
Perusahaan ini pun akan dikenai sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan serta berpotensi menghadapi gugatan perdata.
Baca juga: PDIP: Penghentian Permanen Tambang di Raja Ampat Wajib Dilakukan, Bukan Sementara Apalagi Pura-pura
Profil 4 Perusahaan Tambang Nikel
- PT Gag Nikel
Dikutip dari Kompas.com, PT Gag Nikel adalah perusahaan pemegang kontrak karya sejak 1998.
Awalnya, saham PT Gag Nikel dimiliki oleh Asia Pacific Nickel Pty Ltd sebesar 75 persen dan PT Antam Tbk sebesar 25 persen.
Namun, sejak 2008, Antam mengakuisisi semua saham Asia Pacific Nickel Pty Ltd.
Berdasarkan informasi di laman Kementerian ESDM, kontrak karya PT Gag Nikel terdaftar di aplikasi Mineral One Data Indonesia (MODI) dengan nomor akta perizinan 430.K/30/DJB/2017.
Perusahaan itu memiliki luas wilayah izin pertambangan 13.136 hektar.
PT Gag Nikel kemudian mendapat izin produksi pada 2017 dan mulai berproduksi setahun kemudian, yakni 2018.
- PT Anugerah Surya Pratama
PT Anugerah Surya Pratama diketahui termasuk penanam modal asing (PMA), yakni milik raksasa nikel asal China, Wanxiang Group.
Di Indonesia, induk dari PT Anugerah Surya Pratama adalah PT Wanxiang Nickel Indonesia.
Dari situs resmi perusahaan, PT Wanxiang Nickel Indonesia tercatat juga menjadi salah satu perusahaan Tiongkok yang beroperasi di Morowali.
Bisnis inti perusahaan tersebut adalah tambang nikel dan peleburan Feronikel.
Area tambangnya diketahui juga terletak di Pulau Waigeo dan Manuran, Papua.
- PT Mulia Raymond Perkasa
Mengenai perusahaan ini, hanya sedikit informasi yang bisa digali.
Namun, merujuk pada data KLH, perusahaan ini melakukan pertambangan di Pulau Batang Pele.
Kendati demikian, KLH tidak menyebut luasan aktivitas pertambangan.
Kantor perusahaan ini tercatat berada di The Boulevard Office, Jakarta Pusat.
Dalam keterangan resminya, KLH menyatakan PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele.
- PT Kawei Sejahtera Mining
Sama halnya dengan PT Mulia Raymond Perkasa, tak banyak informasi juga yang bisa ditelusuri dari PT Kawei Sejahtera Mining.
Namun, informasi dari laman Kementerian ESDM menjelaskan PT Kawei Sejahtera Mining adalah perusahaan tambang yang terdaftar di Direktorat Jenderal Minerba dengan izin usaha pertambangan (IUP), untuk operasi produksi bijih nikel.
IUP tersebut memiliki nomor 5922.00 dan valid hingga 26 Februari 2033.
Sementara KLH menyebut, PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektar di Pulau Kawe.
Aktivitas PT Kawei Sejahtera Mining tersebut menyebabkan sedimentasi di pesisir pantai.
KLH mengatakan, akan memberikan sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan dan perusahaan terancam dikenakan pasal perdata.
Pengamat Harap Aktivitas Tambang Nikel di Raja Ampat Dihentikan Total
Pengamat maritim cum Dewan Pakar Pengurus Pusat Pemuda Katolik, Marcellus Hakeng Jayawibawa, berharap pemerintah meniadakan total aktivitas pertambangan di wilayah Raja Ampat.
Sebab, keberadaan Raja Ampat sebagai kawasan global geopark yang diakui UNESCO tidak seharusnya dipertaruhkan oleh kegiatan pertambangan skala besar.
Apalagi, Raja Ampat juga menjadi rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Hilangnya wilayah ini akan menjadi kerugian global.
"Ini bukan semata-mata keputusan administratif, tetapi refleksi dari konflik mendalam antara dua kepentingan besar, yakni pembangunan ekonomi melalui hilirisasi nikel dan pelestarian lingkungan hidup."
"Harapan saya keputusan yang diambil tidak hanya penghentian sementara saja, tapi harus sampai penghentian total," ujar Hakeng dalam keterangannya, Jumat (6/6/2025).
"Raja Ampat adalah rumah bagi 75 persen jenis terumbu karang dunia. Kehilangan wilayah ini akibat tambang bukan hanya kerugian bagi Papua Barat Daya, tapi kerugian global," jelas dia.
Menurutnya, keputusan penghentian pertambangan tersebut bisa menunjukkan bahwa negara mulai menyadari urgensi perlindungan lingkungan di wilayah-wilayah dengan nilai ekologis tinggi.
Hakeng menjelaskan, pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, secara eksplisit melarang eksploitasi tambang di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, dan Manuran.
Namun, realitanya, pembukaan tambang di kawasan tersebut tetap dilakukan hingga memunculkan pertanyaan serius soal konsistensi Indonesia utamanya soal penegakan hukum lingkungan.
Berdasarkan laporan Greenpeace yang dirilis baru-baru ini, diketahui lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di Pulau Gag telah mengalami kerusakan akibat aktivitas pertambangan tersebut.
Sedimentasi yang mengalir ke laut juga telah menyebabkan kerusakan pada terumbu karang, mengganggu sistem ekologi laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat.
"Jika ini dibiarkan, Raja Ampat bisa kehilangan status geopark-nya. Dunia akan menyalahkan kita karena gagal menjaga warisan alam," tegas Hakeng.
Hakeng mengatakan, status korporasi BUMN tidak bisa dijadikan alasan pembenar terhadap aktivitas pertambangan pada lokasi geopark atau pelanggaran prinsip ekologis.
"Justru karena BUMN adalah wajah negara, maka seharusnya mereka menjadi teladan dalam menjaga lingkungan, bukan pelanggar," katanya.
Menurut Hakeng, penghentian ini adalah ujian terhadap komitmen pemerintah dalam membangun paradigma ekonomi yang tidak merusak tatanan ekologis.
Dalam kerangka ini, prinsip free prior and informed consent (FPIC) menjadi hal mendasar.
FPIC sendiri merupakan bagian dari hak asasi masyarakat adat yang telah diakui dalam berbagai konvensi internasional.
Hakeng mengatakan, salah satu persoalan besar dalam kasus ini adalah lemahnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Dia kemudian menekankan mengenai pentingnya transparansi dalam proses AMDAL dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
"Tanpa keterlibatan publik dan pengawasan independen, AMDAL hanya menjadi formalitas, padahal di situlah letak tanggung jawab sosial dan ekologis dari setiap proyek," tegasnya.
Hakeng pun menyarankan agar semua dokumen perizinan tersebut dibuka ke publik dan dievaluasi ulang secara ilmiah.
Hakeng juga menyoroti soal minimnya partisipasi lembaga akademik dan ilmiah dalam proses penilaian risiko lingkungan dari proyek-proyek besar seperti tambang nikel di pulau kecil tersebut.
Untuk hal ini, dia menyarankan pemerintah agar membentuk panel ahli independen yang terdiri dari ilmuwan lingkungan, ahli hukum, dan perwakilan masyarakat adat, dalam mengevaluasi proyek-proyek tambang.
"Keputusan strategis tidak bisa hanya didasarkan pada laporan perusahaan. Harus ada validasi independen dari kalangan akademik dan masyarakat sipil," kata dia.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com dengan judul KLH Bongkar Ulah Perusahaan Tambang Nikel China dan Anak Usaha BUMN di Balik Terancamnya Raja Ampat
(Tribunnews.com/Rifqah/Fersianus) (TribunJakarta.com/Gerald) (Kompas.com/Muhammad Idris)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.