Penulisan Ulang Sejarah RI
Beda Pendapat antara PDIP dan Menteri HAM Soal Penulisan Ulang Sejarah RI dengan Tone Positif
Menbud RI Fadli Zon menegaskan, penulisan ulang sejarah RI dengan tone positif tidak bertujuan untuk mengorek-orek kesalahan di masa lalu.
Penulis:
Rizkianingtyas Tiarasari
Editor:
Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Ada perbedaan pandangan dari politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Menteri Hak Asasi Manusia RI (HAM) tentang penulisan ulang sejarah RI dengan tone atau nada positif.
Sebagai informasi, pemerintah akan melakukan penulisan ulang sejarah RI dengan tone positif karena tidak bertujuan untuk mengorek-orek kesalahan di masa lalu.
Hal tersebut disampaikan Menteri Kebudayaan RI (Menbud) Fadli Zon saat menanggapi kabar yang menyebut term of reference (TOR) sejarah yang disusun pemerintah hanya mencantumkan 2 dari 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
"Tone kita adalah tone yang lebih positif. Karena kalau mau mencari-cari kesalahan, mudah. Pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa," ujar Fadli saat ditemui di Cibubur, Depok, Jawa Barat, Minggu (1/6/2025).
Selanjutnya, Fadli menggarisbawahi, salah satu tujuan penulisan ulang sejarah RI adalah mengurangi bias dan mempersatukan bangsa.
"Kita ingin sejarah ini Indonesia-sentris. Mengurangi atau menghapus bias-bias kolonial. Kemudian, terutama untuk mempersatukan bangsa dan kepentingan nasional," tutur dia.
Selain itu, penulisan sejarah ulang dimaksudkan agar peristiwa di masa lalu bisa relevan untuk generasi saat ini.
Terutama terkait prestasi dan capaian di masa lalu untuk memberikan semangat generasi penerus dengan belajar dari kesuksesan pendahulu.
"Jadi yang kita inginkan tone-nya dari sejarah kita itu adalah tone yang positif. Dari era Bung Karno sampai era Presiden Jokowi dan seterusnya," ucap dia.
Penulisan ulang sejarah RI dengan tone positif ini pun memancing berbagai tanggapan, ada yang pro dan ada yang kontra.
Anggota Komisi X DPR Fraksi PDIP: Harusnya Sisi Baik dan Buruk Dimasukkan Semua
Baca juga: Anggaran Rp 9 Miliar untuk Penulisan Ulang Sejarah Sudah Cair, Uji Publik Digelar Juli 2025
Anggota Komisi X DPR Fraksi PDI-P Bonnie Triyana meminta pemerintah untuk menulis ulang sejarah dari semua sisi, bukan hanya yang tone positif.
Menurutnya, kesalahan-kesalahan di masa lalu juga harus tetap dimasukkan agar bisa menjadi pelajaran ke depan.
"Gini, kita tuh belajar sejarah dari semua sisi. Apapun itu, kalau memang bisa menjadi pelajaran kita untuk tidak mengulangi lagi yang di masa lalu, mestinya masuk," ujar Bonnie, dikutip dari Kompas.com, Selasa (3/6/2025).
Bonnie menekankan, alangkah baiknya pemerintah memasukkan sisi baik dan buruk dalam penulisan sejarah ulang.
Dengan begitu, tidak akan ada karya sejarah yang dipelesetkan.
"Kalau kita hanya mengglorifikasi masa lalu dari sisi terangnya saja, sisi baiknya saja, itu berpotensi karya sejarah terpeleset. Kalau kita ngomongin jeleknya doang, juga enggak bagus. Tapi yang bagus itu kita kedua sisi, bahkan seluruh perspektif ditulis, supaya kita bisa belajar," jelasnya.
"Supaya kita bisa belajar, karena kita hidup sebagai bangsa Indonesia bukan untuk hari ini. Untuk 2 tahun, 10 tahun, untuk selama-lamanya. Makanya harus ada yang dipelajari," sambung Bonnie.
Kemudian, Bonnie meyakini Presiden RI Prabowo Subianto pun ingin memperbaiki situasi Indonesia.
Sehingga, pemerintah harus belajar dari kesalahan masa lalu agar penulisan sejarah ulang ini ada gunanya.
"Iya menurut saya ini momentum untuk kita semua, karena saya yakin Presiden juga melihat ini momentum, apalagi dia mau bersih-bersih, mau perbaiki situasi kondisi kita. Jadi saya pikir kita harus belajar dari masa lalu, jadi penulisan buku ini ada gunanya," papar Bonnie.
Lalu, terkait isu hanya ada 2 kasus pelanggaran HAM berat yang dimasukkan, Bonnie menyebut ada editor yang mengeklaim bahwa semua kasus masuk ke buku sejarah baru.
Yang pasti, Bonnie menekankan, tidak boleh ada sensor yang dilakukan pemerintah terkait kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
"Ya enggak bisa sensor, selektif. Inilah, makanya memori kolektif kita sebagai bangsa hendaknya jangan selektif. Kalau selektif, kita enggak bisa belajar apa-apa," tukasnya.
Menteri HAM: Sudah Benar Itu
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mendukung langkah Menteri Kebudayaan Fadli Zon untuk penulisan sejarah ulang dengan nada positif.
Pigai mengatakan, nada positif dalam penyusunan sejarah itu dimaksudkan untuk memaparkan perjalanan sejarah bangsa dengan apa adanya.
"Itu artinya tidak bermaksud mempositifkan semua peristiwa. Semua peristiwa itu kan up and down, ada titik tertentu baik, titik tertentu jelek gitu kan. Tapi ketika kita menulis fakta peristiwa apa adanya, itu yang namanya tone positif," kata Pigai di kantor Kementerian HAM, Kuningan, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Pigai mengatakan, sejarah Indonesia selama ini masih dalam perdebatan antara mereka yang menerima dan menolak.
Karenanya, ia mendukung gagasan Fadli Zon tersebut.
"Berarti tulis ulang, sudah pas. Benar itu," ujarnya.
Lebih lanjut, Pigai mengatakan, Kementerian HAM akan ikut mengawal penulisan ulang sejarah RI tersebut khususnya terkait kebenaran peristiwa.
"Karena itu, kalau kami lebih kepada mengontrol kebenaran peristiwa. Peristiwa itu diungkap secara fakta, apa adanya, itu justice. Saya meyakini yang dimaksud oleh Menteri Kebudayaan itu adalah mengungkap apa adanya," ucap dia.
Peristiwa 1965 dan penculikan aktivis tak masuk
Sebagai informasi, tragedi 1965 dan penculikan aktivis pada akhir Orde Baru, tidak termasuk dalam rancangan isi penulisan ulang sejarah RI tersebut.
Adapun berikut adalah daftar 12 kasus pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara pada 11 Januari 2023 oleh Presiden Joko Widodo:
1. Peristiwa 1965-1966
2. Penembakan Misterius (Petrus) 1982–1985
3. Talangsari, Lampung (1989)
4. Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh (1998–1999)
5. Penghilangan Paksa Aktivis (1997–1998)
6. Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II (1998–1999)
7. Kerusuhan Mei 1998
8. Simpang KKA, Aceh (1999)
9. Wasior, Papua (2001)
10. Wamena, Papua (2003)
11. Jambo Keupok, Aceh (2003)
12. Peristiwa Timor Timur pasca-referendum (1999), telah diadili di Pengadilan HAM ad hoc, tetapi hasilnya masih kontroversial.
(Tribunnews.com/Rizki A.) (Kompas.com/Adhyasta Dirgantara, Yovie Given Nata Widjaja, Haryanti Puspa Sari)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.