Hasto Kristiyanto dan Kasusnya
Lagi, Kubu Hasto Protes saat Jaksa Hadirkan Penyelidik KPK di Sidang Kasus Harun Masiku
Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy protes JPU kembali menghadirkan penyelidik KPK dalam sidang kasus Harun Masiku di PN Tipikor Jakarta.
Penulis:
Fahmi Ramadhan
Editor:
Theresia Felisiani

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy protes ketika Jaksa Penuntut Umum kembali menghadirkan penyelidik KPK dalam sidang kasus Harun Masiku di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Adapun dalam sidang hari ini, Jumat (16/5/2025) Jaksa menghadirkan Arif Budi Raharjo yang merupakan penyelidik KPK pada Januari 2020 turut mengejar Harun Masiku ke Kompleks Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta Selatan.
Terkait hal ini Ronny Talapessy mempertanyakan kenapa Jaksa KPK kembali menghadirkan penyelidik dalam sidang setelah pada pekan kemarin mereka juga menghadirkan AKBP Rossa Purbo Bekti yang juga merupakan penyidik lembaga antirasuah tersebut.
Protes ini jadi yang kedua setelah pada pekan kemarin kubu Hasto juga protes saat Rossa dihadirkan dalam sidang kasus Harun Masiku.
"Yang ingin kami tanyakan, apa yang mau diterangkan kemudian di bagian mana yang akan disampaikan karena supaya ini menjadi jelas," kata Ronny Talapessy di ruang sidang.
Sebab dijelaskan Ronny Talapessy, jika berkaca pada kesaksian Rossa Purbo pekan kemarin, penyidik KPK itu hanya bercerita berdasarkan hasil pemeriksaan yang kemudian dituangkan dalam berkas acara pemeriksaan (BAP) dirinya.
"Oleh sebab itu mohon izin majelis agar dijelaskan sehingga ada rambu-rambu dari depan kita sepakati sehingga tidak menimbulkan asumsi atau penjelasan yang sepihak," jelasnya.
Baca juga: Tak Tetapkan Hasto Tersangka, Alexander Eks KPK: Kalau Dianggap Halangi Penyidikan Silakan Diproses
Menyikapi hal ini, Jaksa KPK menjelaskan bahwa dihadirkannya Arif Budi sebagai saksi untuk membeberkan berbagai fakta yang terjadi dalam penanganan kasus Harun Masiku.
Khususnya lanjut Jaksa, Arif akan menjelaskan mengenai peristiwa gagalnya penangkapan terhadap Harun dan Hasto saat operasi tangkap tangan (OTT) di PTIK 8 Januari 2020.
"Saksi ini menjelaskan rangkaian saksi fakta, menjelaskan terkait peristiwa tanggal 8 Januari di PTIK sebagaimana dakwaan kami di pasal 21," ujar Jaksa KPK.
Seperti diketahui Sekertaris Jenderal (Sekjen) PDI-Perjuangan Hasto Kristiyanto didakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa suap dalam kepengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI, Harun Masiku.
Adapun hal itu diungkapkan Jaksa Penuntut Umum (Jpu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat membacakan berkas dakwaan Hasto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jum'at (14/3/2025).
"Telah melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut memberi atau menjanjikan sesuatu," kata Jaksa KPK Wawan Yunarwanto.
Baca juga: IM57+: Kesaksian Penyidik KPK di Sidang Hasto Cukup Buka Penyidikan untuk Firli Bahuri
Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa bersama-sama dengan orang kepercayaanya yakni Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 ribu Dollar Singapura (SGD) kepada mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Uang tersebut diberikan kepada Wahyu agar KPU bisa mengupayakan menyetujui pergantian calon anggota legislatif terpilih dari daerah pemilihan Sumatera Selatan 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.
"Yang bertentangan dengan kewajiban Wahyu Setiawan selaku anggota KPU RI yang termasuk penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 5 angka 4 dan angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme," ucap Jaksa.
Jaksa mengatakan, peristiwa itu bermula pada 22 Juni 2019 dilaksanakan rapat pleno DPP PDIP untuk membahas perolehan suara Nazarudin Kiemas calon anggota legislatif dapil Sumatera Selatan 1 yang telah meninggal dunia.
Adapun dalam pemilu 2019, Nazarudin dinyatakan memperoleh 34.276 suara, disusul Riezky Aprilia 44.402 suara, Darmadi Djufri 26.103 suara, Doddy Julianto Siahaan 19.776 suara, Diana Oktasari 13.310 suara.
Kemudian di urutan kelima ada Harun Masiku dengan perolehan suara 5.878 suara, Suharti 5.669 suara dan Irwan Tongari 4.240 suara.
Lalu berdasarkan hasil rapat pleno tersebut, Hasto selaku Sekjen memerintahkan Tim Hukum PDIP, Donny Tri Istiqomah menjadi pengacara partai untuk menggugat materi Pasal 54 ayat (5) huruf k tentang peraturan KPU nomor 3 tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA).
Setelah itu Hasto memanggil Donny dan Saeful Bahri ke rumah aspirasi di Jakarta Pusat untuk memberi perintah agar membantu Harun Masiku untuk menjadi anggota DPR RI.
"Dan melaporkan setiap perkembangan, baik mengenai komitmen penyerahan uang dan segala hal terkait pengurusan Harun Masiku kepada Terdakwa," ujar Jaksa.
Setelah itu selang satu bulan yakni Juli 2019, DPP PDIP kembali menggelar rapat pleno dengan keputusan menetapkan Harun Masiku sebagai caleg mengganti posisi Nazarudin Kiemas.
Atas keputusan itu Hasto pun memberitahu kepada Donny Tri untuk mengajukan surat permohonan kepada KPU.
Kemudian DPP PDIP bersurat kepada KPU yang pada pokoknya meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku.
"Menindaklanjuti surat dari DPP PDIP tersebut yang pada pokoknya KPU RI tidak dapat memenuhi permohonan DPP PDI-P karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," sebutnya.
Baca juga: Pengacara Hasto Protes AKBP Rossa Dkk jadi Saksi, KPK: Untuk Buktikan Pasal Perintangan Penyidikan
Setelah tidak bisa memenuhi permintaan DPP PDIP, KPU pun menetapkan Riezky Aprilia sebagai calon anggota DPR RI terpilih berdasarkan rapat pleno terbuka pada 31 Agustus 2019.
Akan tetapi operasi pengajuan Hasto sebagai anggota DPR masih berlanjut.
Dimana Hasto meminta fatwa dari MA hingga menyuap Wahyu Setiawan sebesar 57.350 SGD atau setara Rp 600 juta.
Atas perbuatan tersebut, Hasto didakwa dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.