Tribunners / Citizen Journalism
Mengedepankan Meritokrasi dalam Pemilihan Kapolri
Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo sudah menjabat lebih dari 4 tahun sebagai Kapolri, menggantikan Jendral Idham Aziz
Editor:
Choirul Arifin
Kasus selanjutnya adalah pemilihan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Proses ini memang menunjukkan adanya kecenderungan kuat terhadap pertimbangan politis.
Pemilihan Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri pada tahun 2021 menimbulkan banyak diskusi publik. Ia merupakan figur yang relatif muda dibandingkan senior-seniornya yang juga memenuhi syarat dan menjabat di posisi strategis.
Namun, Listyo dipilih oleh Presiden Joko Widodo, dan DPR menyetujui pencalonannya dengan cepat.
Beberapa pengamat menilai bahwa kedekatan Listyo dengan Presiden menjadi salah satu faktor penentu dalam pemilihannya.
Walau demikian, perlu dicatat bahwa dalam uji kelayakan di DPR, Listyo mempresentasikan visi dan misi yang progresif, termasuk konsep transformasi Polri menuju institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (Presisi).
Gagasan ini mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan, sehingga menunjukkan bahwa meskipun ada pertimbangan non-meritokratis, aspek profesionalisme tetap diperhatikan.
Meritokrasi Adalah Keniscayaan
Michael Young (1958) Dalam bukunya The Rise of the Meritocracy, mengemukakan bahwa meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kedudukan atau posisi berdasarkan bakat atau kemampuan mereka.
Prinsip meritokrasi menekankan bahwa seseorang layak menduduki jabatan berdasarkan kualitas dan prestasi, bukan hubungan personal atau senioritas semata.
Dalam proses pemilihan Kapolri, prinsip ini mengharuskan bahwa calon yang diusulkan adalah individu dengan kompetensi teknis tinggi, pengalaman lapangan yang luas, integritas moral yang tidak diragukan, serta kemampuan manajerial yang mumpuni.
Selain itu, calon Kapolri sebaiknya juga memiliki rekam jejak dalam mengelola institusi secara profesional, bebas dari konflik kepentingan, dan memiliki visi yang sejalan dengan arah reformasi kepolisian.
Menilai calon Kapolri membutuhkan pertimbangan yang cermat dan objektif, dengan memperhatikan sejumlah indikator kunci yang dapat menggambarkan kualitas dan kelayakan seorang kandidat.
Beberapa faktor yang layak dijadikan tolok ukur antara lain adalah pangkat dan jenjang karier yang telah ditempuh, yang mencerminkan dedikasi dan kemampuan seseorang dalam menjalani tugas-tugas kepolisian.
Riwayat penugasan dan keberhasilan dalam posisi-posisi strategis juga sangat penting, karena ini menunjukkan kapabilitas kandidat dalam mengelola situasi dan tantangan besar.
Pendidikan, baik yang berhubungan langsung dengan kepolisian seperti Sespimti dan Lemhannas, maupun pendidikan non-polri yang dapat memperkaya wawasan global, menjadi aspek lain yang tak kalah signifikan.
Selain itu, evaluasi kinerja dan disiplin sepanjang karier juga memberikan gambaran tentang seberapa efektif calon tersebut dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email [email protected]
Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.
Catatan Ketua MPR RI: Demi Ketertiban Umum, Jangan Biarkan Pisau Hukum Tumpul |
![]() |
---|
Respons Bawaslu Soal MK Sebut Politik Uang Tetap Ada Apapun Sistem Pemilu yang Digunakan |
![]() |
---|
Catatan Ketua MPR RI: Memampukan Sistem Hukum Ketatanegaraan Kelola Ragam Krisis |
![]() |
---|
Pria Ini Ubah Jenis Kelamin Demi Rebut Hak Asuh Anak-Anaknya |
![]() |
---|
FH Unisri dan Peradi Surakarta Gelar Semnas Ulas Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.