Senin, 29 September 2025

Putusan MK: Pasal Menyerang Kehormatan dalam UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah dan Korporasi

Ketua MK Suhartoyo menyatakan Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon.

Tribunnews.com/Ibriza Fasti Ifhami
MAHKAMAH KONSTITUSI - Sidang pengucapan putusan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/4/2025). Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 27A UU ITE. 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 27A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak berlaku bagi sejumlah pihak.

Hal tersebut berdasarkan Putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang dimohonkan oleh Pemohon atas nama Daniel F. M. Tangkilisan.

Ketua MK Suhartoyo menyatakan Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan Pemohon.

"Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian," ucap Suhartoyo dalam persidangan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Mahkamah menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .

Dan jufga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintahan, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan”.

Selain itu, Mahkamah juga menyatakan frasa "suatu hal" dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang".

"Menyatakan frasa "mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu" dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) Undang
Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6905) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan".

Dalam pertimbangan hukum putusan 105/PUU-XXII/2024, Mahkamah memandang penting adanya penegasan konstitusionalitas frasa "orang lain" dalam norma Pasal 27A UU ITE.

Hal itu agar memberikan kejelasan pemenuhan kewajiban negara dalam melindungi, memajukan, menegakkan serta memenuhi hak asasi manusia.

Hakim Arief Hidayat mengatakan, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain.

Ia melanjutkan pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

"In casu terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat, merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana penyeimbang atau salah satu sarana kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis," ucap Arief.

Ia menuturkan, terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan