Kamis, 2 Oktober 2025

15 Puisi Chairil Anwar yang Populer dan Penuh Makna

Berikut 15 puisi populer dan penuh makna karya Chairil Anwar. Chairil Anwar, seorang penyair Indonesia yang dikenal sebagai pelopor sastra modern.

|
kemdikbud.go.id
CHAIRIL ANWAR - Foto ini diambil dari laman resmi Kemdikbud pada Bulan April, lalu yang menunjukkan Foto Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 yang terkenal dengan puisi Aku dan tanggal wafatnya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional di Indonesia. Berikut 15 puisi populer dan penuh makna karya Chairil Anwar. Chairil Anwar, seorang penyair Indonesia yang dikenal sebagai pelopor sastra modern. (Kemdikbud.go.id) 

TRIBUNNEWS.COM - Chairil Anwar, seorang penyair Indonesia yang lahir pada 26 Juli 1922, dikenal sebagai pelopor sastra modern Indonesia.

Puisi-puisinya yang penuh semangat, berani, dan mencerminkan perjuangan hidup menciptakan jejak yang mendalam di dunia sastra. 

Chairil Anwar dikenal melalui puisi-puisinya yang mengekspresikan perasaan dan pemikiran tentang kemerdekaan, kehidupan, dan eksistensi manusia. 

Sebagai pelopor puisi modern Indonesia, Chairil Anwar telah menulis 70 puisi semasa hidupnya.

Baca juga: Sejarah Hari Puisi Nasional yang Diperingati Hari Ini, 28 April 2025

15 Puisi Chairil Anwar yang yang Populer dan Penuh Makna

1. Aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

2. Doa

Tuhanku Dalam termangu 
Aku masih menyebut nama-Mu 

Biar susah sungguh 
Mengingat Kau penuh seluruh 

Caya-Mu panas suci 
Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku 
Aku hilang bentuk 
Remuk 

Tuhanku 
Aku mengembara di negeri asing 

Tuhanku 
Di pintu-Mu aku mengetuk 
Aku tidak bisa berpaling

3. Karawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka!” dan angkat senjata lagi
tapi siapakah yang tidak mendengar deru kami
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak.
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.

Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

4. Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
Di antara gudang, rumah tua, pada cerita
Tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
Menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
Menyinggung muram, desir hari lari berenang
Menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
Dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
Menyisir semenanjung, masih pengap harap
Sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
Dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

5. Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh 
Terasa hari akan jadi malam 
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh 
Dipukul angin yang terpendam 

Aku sekarang orangnya bisa tahan 
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi 
Tapi dulu memang ada suatu bahan 
Yang bukan dasar perhitungan kini 

Hidup hanya menunda kekalahan 
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah 
Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan 
Sebelum pada akhirnya kita menyerah 

6. Selamat Tinggal

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
Dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?

Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah....!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal

Selamat tinggal.

7. Diponegoro

Di masa pembangunan in
Tuan hidup Kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. 
Lawan banyaknya seratus kali

Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba

Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

8. Sia-sia

Sia Sia
Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:

Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu

Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

9. Cerita Buat Dien Tamaela

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Beta Pattirajawane
Kikisan laut
Berdarah laut

Beta Pattirajawane
Ketika lahir dibawakan
Datu dayung sampan

Beta Pattirajawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

Dalam sunyi malam ganggang menari
Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau......

Beta Pattirajawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

10. Dendam

Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
Aku tegak

Bulan bersinar sedikit tak nampak
Tangan meraba ke bawah bantalku

Keris berkarat kugenggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak nampak

Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari

Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak

11. Yang Terampas dan Yang Putus

Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
Menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
Malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru
dingin

Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau
datang
Dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
Tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa
berlaku beku

12. Penghidupan

Lautan maha dalam
Mukul dentur selama
Nguji tenaga pematang kita

Mukul dentur selama
Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahgia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

13. Hampa

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. 

Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

14. Penerimaan

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

15. Penghidupan

Lautan maha dalam
Mukul dentur selama

Nguji tenaga pematang kita
Mukul dentur selama

Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahgia
Kecil setumpuk
Sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

(Tribunnews.com/Farrah)

Artikel Lain Terkait Chairil Anwar

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved