Sabtu, 4 Oktober 2025

Revisi UU TNI

21 Organisasi Masyarakat Sipil Ramai-ramai Kritik Daftar Inventaris Masalah RUU TNI

Yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
Tribunnews.com/ Chaerul Umam
REVISI UU TNI - Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal TNI Agus Subiyanto saat rapat di gedung parlemen Jakarta, Kamis (13/3/2025), menyatakan bahwa Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang selama ini menjadi payung hukum bagi TNI dalam menjalankan tugasnya, sudah tidak relevan dengan kondisi dan tantangan terkini. Ia menilai, UU tersebut perlu dilakukan penyesuaian agar lebih sesuai dengan kebijakan dan keputusan politik negara yang berkembang 

 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebanyak 21 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah kepada DPR dalam proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI pada 11 Maret 2025. 

Mereka yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yakni Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI Nasional, dan Amnesty International Indonesia.

Kemudian juga ELSAM, Human Right Working Group (HRWG), WALHI, SETARA Institute, serta Centra Initiative.

Selain itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Pos Malang, dan Aliansi untuk Demokrasi Papua (ALDP).

Selanjutnya Public Virtue, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), BEM SI, dan Dejure.

Koalisi memandang, dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme.

Koalisi masyarakat sipil sejak awal menilai pengajuan revisi terhadap UU TNI tidak urgent karena UU TNI Nomoro 34 tahun 2004 masih relevan digunakan untuk membangun transformasi TNI ke arah militer yang profesional sehingga belum perlu diubah. 

Menurut Koalisi, yang perlu diubah oleh pemerintah dan DPR adalah aturan tentang peradilan militer yang diatur dalam UU Nomor 31 tahun 1997.

Aturan tersebut, menurut Koalisi perlu diubah agar prajurit militer tunduk pada peradilan umum jika terlibat tindak pidana umum demi menegakkan asas persamaan di hadapan hukum yang ditegaskan dalam Konstitusi.

Koalisi menilai secara substansi RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah.

Pertama, perluasan di jabatan sipil yang menambah  Kejaksaan Agung dan  Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI. 

Menurut Koalisi untuk di kantor Kejaksaan Agung, penempatan itu tidaklah tepat karena fungsi TNI sejatinya sebagai alat pertahanan negara, sementara Kejaksaan fungsinya adalah sebagai aparat penegak hukum. 

Walau saat ini sudah ada Jampidmil di Kejaksaan agung, namun menurut Koalisi perwira TNI aktif yang menjabat di Kejaksaan Agung itu semestinya harus mengundurkan diri terlebih dahulu.

Sejak awal di bentuknya Jampidmil, Koalisi mengakus sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan. 

Koalisi memandang Jampidmil hanya menangani perkara koneksitas, harusnya tidak perlu dipermanenkan jadi sebuah jabatan bernama Jampidmil. 

Padahal, menurut Koalisi, untuk kepentingan koneksitas sebenarnya bisa dilakukan secara kasuistik dengan membentuk tim ad hoc gabungan tim Kejaksaan Agung dan oditur militer.

Lagipula, kata Koalisi, peradilan koneksitas selama ini juga bermasalah karena seringkali menjadi sarana impunitas. 

"Peradilan koneksitas ini seharusnya dihapus, karena jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum langsung tunduk dalam peradilan umum sehingga tidak perlu koneksitas," tulis Koalisi dalam Press Release yang dikonfirmasi pada Jumat (14/3/2025).

"Dengan demikian penambahan jabatan sipil di Kejagung sebagaimana dimaksud dalam RUU TNI tidak tepat, termasuk keberadaan Jampidmil," lanjut dia.

Lebih lanjut, menurut Koalisi, penempatan TNI aktif di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tidak tepat. 

KKP, kata Koalisi, adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif. 

Sedangkan Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP, menurut Koalisi, sudah seharusnya mengundurkan diri.

"Koalisi menilai, sebenarnya yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Akan tetapi justru penyempitan, pembatasan dan pengurangan TNI aktif untuk duduk dijabatan sipil sebagaimana diatur dalam UU TNI," tulis Koalisi.

"Jadi jika ingin merevisi UU TNI justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam pasal 47 ayat (2) UU TNI dikurangi bukan malah ditambah," lanjut keterangan tersebut.

Selain itu, Koalisi memandang penambahan tugas operasi militer selain perang yang meluas seperti menangani masalah narkotika adalah terlalu berlebihan. 

Menurut Koalisi upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum, sebagai alat pertahanan negara TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya. 

Penanganan narkotika, kata Koalisi, seharusnya lebih menekankan pada aspek medis dan penegakan hukum pun musti dilakukan secara proporsional bukan represif atau bahkan justru melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya. 

"Karena itu, pelibatan TNI dalam penanganan narkotika adalah berlebihan dan akan meletakkan model penanganan narkotika menjadi 'war model' dengan melibatkan militer di dalamnya dan bukan criminal justice sistem model lagi sehingga ini berbahaya karena akan membuka potensi execive power," tulis Koalisi.

"Lebih berbahaya lagi, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang tidak lagi memerlukan persetujuan DPR melalui kebijakan politik negara (kebijakan presiden dengan pertimbanagan DPR sebagaimana diatur pasal 7 ayat 3 UU TNI 34/2004), tetapi akan di atur lebih lanjut dalam PP sebagaimana diatur dalam draft RUU TNI," lanjut Koalisi.

Koalisi memandang draft pasal dalam RUU TNI tersebut secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat. 

Selain itu, menurut Koalisi hal tersebut akan menimbulkan konflik kewenangan dan tumpang tindih dengan lembaga lain khususnya aparat penegak hukum dalam mengatasi masalah di dalam negeri.

"Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan Dwi Fungsi TNI dan militerisme di Indonesia," kata Koalisi.

"Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada Dwi Fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan para Kepala Staf Angkatan telah menyampaikan usulannya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI terkait revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Nomor 34 Tahun 2004 di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (13/3/2025).

Sejumlah hal yang dibahas dalam rapat antara lain penempatan TNI aktif di kementerian dan lembaga sipil, operasi militer selain perang, dan usia pensiun prajurit.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved