Sabtu, 4 Oktober 2025

Tata Tertib DPR

Pakar Hukum Tata Negara Sebut Revisi Tatib DPR Culas, Bivitri Susanti: Ini Melanggar Konstitusi

Menurut Bivitri hal itu menjadi masalah karena tatib tersebut merupakan peraturan DPR di mana tidak ada keterlibatan eksekutif di dalamnya.

|
Penulis: Gita Irawan
Tribunnews.com/Fersianus Waku
DPR REVISI TATIB - Pimpinan DPR RI saat memberikan keterangan pers di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025). Pakar hukum tata negara sekaligus akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti memandang langkah DPR merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) adalah sebuah perbuatan culas. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar hukum tata negara sekaligus akademisi STHI Jentera Bivitri Susanti memandang langkah DPR merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) adalah sebuah perbuatan culas.

Ia pun sempat membandingkannya dengan upaya DPR untuk mengubah Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang tercatat muncul saat anggota DPR periode 2019 - 2024 menjabat.

Baca juga: DPR Revisi Tata Tertib, Berwenang Copot Panglima TNI, Kapolri hingga Ketua KPK?

Dilansir dari Kompas.com, rencana revisi UU MK yang dimaksud Bivitri ingin mengubah beberapa pokok materi yang sudah ada dalam UU MK saat ini.

Satu di antaranya soal masa jabatan hakim konstitusi dari semula maksimal 15 tahun atau hingga berumur 70 tahun dikembalikan menjadi 5 tahun. 

Baca juga: Revisi Tata Tertib DPR, Akal-akalan Menambah Kewenangan Absurd

Untuk hakim yang sedang menjabat, dikembalikan ke lembaga pengusul untuk menentukan nasibnya melalui permintaan konfirmasi.

Selain masa jabatan, usia minimal hakim konstitusi juga dikhawatirkan hendak diubah dari 55 tahun menjadi 60 tahun.

"Ini culas. Mereka mau ubah UU MK buat mengutak-atik MK kita cegah, sekarang mau masuk dari sini (revisi tatib)," kata Bivitri saat dihubungi Tribunnews.com pada Rabu (5/2/2025).

Ia menjelaskan proses pemilihan hakim dan komisioner masuk aturan main pemilihan, dan bukan pemberian mandat yang bisa dicabut kapan saja.

Begitu sudah dipilih, lanjutnya, maka komisioner atau hakim diatur dalam UU masing-masing misalnya UU MK atau UU KPK.

"Peraturan DPR tidak bisa melanggar UU dan bahkan ini melanggar konstitusi karena susunan, kedudukan, fungsi lembaga-lembaga negara itu diatur dalam UUD," lanjut dia.

Lalu apa yang bisa dilakukan kekuasaan eksekutif dan yudikatif untuk menangkalnya?

Menurut Bivitri hal itu menjadi masalah karena tatib tersebut merupakan peraturan DPR di mana tidak ada keterlibatan eksekutif di dalamnya.

Akan tetapi menurutnya, siapa saja bisa mengajukan pengujian terhadap peraturan tersebut ke Mahkamah Agung (MA).

Ia menjelaskan judicial review (uji materi) semua peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah undang-undang bisa diajukan ke MA. 

Bivitri melanjutkan, hanya judicial review (uji materi) undang-undanglah yang bisa diajukan ke MK.

"Peraturan DPR termasuk peraturan perundang-undangan. Ada di pasal 8 UU (Nomor 12 Tahun 2011) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan," pungkas Bivitri.

Baca juga: Pengamat Curiga DPR Berupaya Kendalikan Mahkamah Konstitusi Melalui Revisi Tata Tertib

Duduk Perkara

Diberitakan sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kini bisa mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Hal ini tertuang dalam revisi perubahan peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR yang disahkan di gedung parlemen Jakarta Selasa (4/2/2025).

Itu artinya, semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR bisa dievaluasi oleh DPR.

Misalnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Kapolri, Panglima TNI, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hakim Mahkamah Agung (MA) dan sebagainya.

Hasil revisi tersebut, dinilai membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah dipilih dengan rekomendasi pemberhentian.

Mengutip Kompas.id, perubahan aturan tersebut dinilai sangat fatal dan merusak ketatanegaraan karena seharusnya Peraturan Tata Tertib DPR hanya bisa mengatur lingkup internal.

Namun ternyata usulan merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) datang dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Senin (3/2/2025).

MKD mengusulkan untuk dilakukan penambahan satu pasal dalam revisi Tatib DPR yakni Pasal 228A.

Dalam bunyinya pasal tersebut menjelaskan, dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.

Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Setelah merevisi kilat tatib tersebut, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan pembahasan revisi Tatib DPR di Badan Legislasi (Baleg) DPR.

Kemudian dalam tahapannya, pembahasan revisi Tatib DPR di Baleg selesai dengan waktu kurang dari 3 jam.

Perubahan tatib ini disetujui oleh seluruh fraksi partai politik dan telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.

Baca juga: DPR Revisi Tata Tertib, Berwenang Copot Panglima TNI, Kapolri hingga Ketua KPK?

Penjelasan DPR

Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad,  menjelaskan, revisi tersebut bagian dari penguatan fungsi pengawasan DPR terhadap mitra-mitra kerjanya.

"Namun kita tegaskan lagi bahwa dalam keadaan tertentu hasil fit and proper yang sudah dilakukan oleh DPR bisa kemudian dilakukan evaluasi secara berkala untuk kepentingan umum," ucap Dasco pada Selasa (4/2/2025).

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang juga kader Partai Gerindra Bob Hasan menyebut penyisipan satu pasal dalam revisi Tata Tertib DPR adalah untuk menjaga kehormatan dan meningkatkan pola pengawasan DPR.

Demikian Bob Hasan merespons penambahan pasal pada tata tertib DPR sebagaimana dikutip dari Kompas.id, Selasa (4/2/2025).

"Tujuannya adalah tentunya menjaga kehormatan dan juga meningkatkan pola pengawasan. Karena pola pengawasan itu adalah bukan serta-merta ketika sudah diberikan rekomendasi hasil fit and proper test tadi, lepas, tidak," kata Bob.

"Nah, DPR sebagai representasi rakyat berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja eksekutif," lanjut dia.

Menurut dia, nantinya hasil evaluasi terhadap kinerja pejabat negara tersebut akan diberikan kepada pejabat atau instansi yang berwenang hingga Presiden.

Selanjutnya, DPR memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi tersebut.

Ia menambahkan hasil rekomendasi DPR dalam evaluasi terhadap pejabat bersifat mengikat, yang artinya harus ditaati semua pihak.

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved