Senin, 29 September 2025

100 Hari Pemerintahan Prabowo

6 Catatan Imparsial Menyikapi 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran di Bidang Pertahanan

Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menyampaikan sejumlah hal terkait bidang pertahanan pemerintahan Prabowo-Gibran.

|
Editor: Wahyu Aji
Ilustrasi/Kompas.com
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

Imparsial memandang program Food Estate yang diikuti dengan penambahan dan pembentukan lima batalyon Infanteri Penyangga Daerah Rawan (Yonif PDR) di Papua, tidak hanya sebagai bentuk penyimpangan peran TNI tetapi juga berpotensi memperparah spiral kekerasan di Papua. 

Diketahui ada lima Yonif PDR yang baru dibentuk, diantaranya Yonif 801/Kesatria Yuddha Kentsuwri di Kabupaten Keerom, Yonif 802/Wimane Mambe Jaya di Kabupaten Sarmi, Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha di Kabupaten Boven Digoel, Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha di Kabupaten Merauke dan Yonif 805/Kesatria Satya Waninggap di Kabupaten Sorong.

"Konflik antara TNI dengan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM sangat mungkin terjadi, apalagi berdasarkan keterangan Menteri Pertanian yang menyatakan bahwa pembukaan lahan satu juta hektar dikendalikan langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih," katanya.

Dia menilai, langkah selanjutnya diikuti dengan pengiriman atau penambahan pasukan TNI secara ilegal di Merauke yang menjadi bukti nyata militerisme dan pendekatan sekuritisasi yang dijalankan oleh Pemerintah di Papua.

"Di sisi lain hal ini juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Papua secara damai. Alih-alih menepati janji untuk mengutamakan dialog, langkah ini justru dapat memperburuk situasi, menambah ketakutan masyarakat lokal dan memperkuat pengaruh militer di wilayah yang sudah rentan konflik," kata Ardi.

Keempat, terus berlangsungnya kekerasan militer terhadap warga sipil yang diiringi dengan pelanggengan budaya impunitas.

Ini terjadi seperti dalam kasus penembakan bos rental mobil yang dilakukan oleh anggota TNI aktif di KM 45 tangerang.

Pernyataan Kapuspen TNI yang menyebutkan bahwa kasus tersebut akan diadili di peradilan militer sejatinya bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2) UU TNI dan pasal 3 ayat (4)n huruf a TAP MPR No. VII Tahun 2000.

Kedua regulasi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pelanggaran hukum pidana umum oleh prajurit TNI harus diselesaikan melalui peradilan umum.

"Berdasarkan data yang dihimpun oleh Imparsial, peradilan militer seringkali menjadi sarana impunitas bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum. Beberapa contoh kasus misalnya penyiksaan yang mengakibatkan kematian terhadap Jusni atau pembunuhan terhadap Pendeta Yeremia Zanambani, memperlihatkan bahwa pelaku cenderung dilindungi oleh sistem peradilan militer," ujarnya.

Kelima, menguatnya sekuritisasi melalui pelibatan TNI dalam tugas-tugas yang jauh dari fungsi utamanya sebagai alat pertahanan negara.

Menurutnya, keterlibatan militer dalam program-program sosial seperti pemberian makan bergizi gratis, menunjukkan bagaimana peran militer yang seharusnya fokus pada pertahanan mulai bergeser ke ranah yang seharusnya dikelola institusi sipil.

"Pelibatan TNI dalam program ini tentunya akan mengganggu profesionalisme TNI sebagai alat negara yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman perang (external)," katanya.

Ardi menjelaskan, masih banyak lagi keterlibatan TNI dalam urusan selain pertahanan, seperti terkait ketahanan pangan, memberikan pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, dan pembangunan infrastruktur.

Kesemua hal tersebut sejatinya adalah illegal karena tidak melalui sebuah keputusan politik negara sebagaimana yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang TNI.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan