Pro Kontra Sekolah Libur 1 Bulan Selama Ramadhan 2025, Ini Jalan Tengahnya
Libur selama sebulan di bulan Ramadhan 2025 memunculkan pro dan kontra ada yang setuju dan ada yang menolak.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah dalam waktu dekat akan mengumumkan keputusan wacana libur sekolah selama bulan puasa Ramadan 1446 H / 2025 M.
"Sudah kami bahas tadi malam lintas kementerian, tapi nanti pengumumannya tunggu sampai surat edarannya keluar ya," kata Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti di Hotel Tavia, Jakarta, Rabu (15/1/2025).
Lalu siswa sekolah dari SD hingga tingkat SMA akan libur sebulah penuh selama Ramadhan?
Sejauh ini, pemerintah menyodorkan tiga skenario libur sekolah selama Ramadan 2025.
Pertama, sekolah libur satu bulan penuh selama bulan puasa.
Kegiatan belajar-mengajar nantinya diisi dengan kegiatan keagamaan.
Kedua, sekolah libur beberapa hari selama bulan puasa.
Ketiga, tidak ada libur sekolah selama Ramadan.
Tanggapan orang tua siswa
Seorang ibu rumah tangga yang juga wali murid siswa sekolah dasar, Een Wiji, lebih setuju jika opsi libur tahun ini adalah sebagian diliburkan.
Alih-alih libur penuh satu bulan atau tidak ada libur sama sekali.
Menurutnya, di awal puasa anak-anak belum terbiasa sehingga mudah merasa haus, lelah, dan lemas.
"Sehingga libur beberapa hari menurut saya adalah keputusan yang bijak untuk mereka agar bisa membiasakan diri berpuasa, tetapi masih tetap bisa beraktivitas," ujarnya dalam keterangan tertulis pada Kompas.TV, Kamis (16/1/2025).
Een sendiri tidak setuju dengan opsi libur sebulan penuh karena anak-anak ketika di rumah cenderung lebih sulit melakukan kegiatan layaknya di sekolah.
"Libur saat bulan puasa agar fokus beribadah menurut saya itu tujuan yang baik, tapi kalau satu bulan atau bahkan lebih, menurut saya kurang tepat sasaran karena ada sisi akademis yang harus dikorbankan," ucapnya.
"Mengurangi durasi belajar mengajar 1-2 jam dirasa lebih bijak daripada libur sebulan penuh," katanya.
Adapun untuk opsi tidak ada libur sama sekali selama Ramadan juga tidak disetujui Een.
"Dikarenakan awal-awal puasa, anak-anak perlu penyesuaian diri sehingga libur beberapa hari menurut saya perlu dilakukan," katanya.
"Sedangkan, di penghujung bulan puasa biasanya para orang tua yang perantau akan beramai-ramai melakukan mudik ke kampung halaman sehingga jika sekolah tidak diliburkan, maka dikhawatirkan akan membuat jadwal mudik orang tua tertunda atau bahkan batal," ujarnya.
Menurut Een, libur di akhir bulan Ramadan juga bisa menjadi kesempatan bagi anak dan orang tua untuk beribadah lebih banyak dan meraih pahala.
Setuju opsi libur sebulan penuh
Ibu rumah tangga sekaligus wali murid sekolah dasar yang lain, Fadila, menyatakan lebih setuju dengan opsi libur sebulan penuh.
"Kebetulan anak saya masih jenjang pendidikan SD dan TK, dan mereka sedang belajar dan latihan berpuasa penuh sampai magrib," katanya dalam keterangan tertulis pada KompasTV, Kamis.
"Jadi, dengan keadaan berpuasa, anak-anak juga nggak akan fokus untuk mengikuti pembelajaran di sekolah. Alasan mereka kondisinya lemas, capek, males, ngantuk," ucapnya.
Menurut dia, libur Ramadan juga bisa mendorong anak lebih lancar puasa sampai magrib.
"Di sekolah lebih banyak godaannya buat anak-anak yang lagi berlatih puasa," ujar Fadila.
Ia berpendapat, lebih baik anak-anak diliburkan dan diberi tugas untuk dikerjakan di rumah, rutin setiap hari dengan pantauan orang tua.
Digodok dengan Matang
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Darwin Darmawan, juga mendorong pemerintah agar lebih matang menggodok regulasi libur sekolah selama Ramadan.
"Karena kalau nanti tanpa ada kejelasan proses, bisa jadi ya orang enggak bisa mengontrol, kan? Sekolah tidak bisa mengontrol, masyarakat tidak bisa mengontrol bagaimana tiap-tiap keluarga mendidik anaknya," katanya dikutip dari BBC Indonesia.
Dampak terburuk liburan penuh selama bulan puasa adalah saat anak-anak justru menghabiskan waktunya untuk "main game online atau tidur-tiduran".
Dampak ini bisa terjadi pada semua siswa, baik yang menjalankan puasa atau tidak.
"Apalagi kalau mempertimbangkan sekolah itu bukan hanya siswa-siswi Muslim, tapi ada yang Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, Konghucu. Bagaimana ini? Mereka berlibur, panduannya seperti apa?" katanya bertanya-tanya.
"Jangan langsung tiba-tiba satu bulan libur misalnya umat non-Muslimnya bagaimana? Yang Muslimnya sendiri juga benar-benar tercapai apa enggak?"
Bagaimana jalan tengahnya?
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, juga punya kekhawatiran yang sama. Libur sebulan penuh.
"Pasti merepotkan orang tua. Dan juga secara waktu kita punya satu bulan penuh itu akan sia-sia," tuturnya dikutip dari BBC Indonesia.
Sebaliknya, kata dia, masuk sekolah secara penuh selama puasa juga tidak membuat kegiatan belajar-mengajar berjalan efektif.
"Mereka nggak makan dari subuh begitu kan. Sampai jam empat (sore) itu sangat lelah sekali tuh. Belum lagi gurunya yang harus mengandalkan suara, harus ngomong," katanya.
Ia menyarankan kebijakan yang dikeluarkan membuat sekolah mengubah format pembelajaran selama bulan puasa.
Misalnya, mengurangi jam pelajaran dan membuat program kerohanian seperti pesantren kilat yang topiknya lebih umum seperti pendidikan karakter.
"Artinya ini bisa diterapkan di mana saja. Di daerah-daerah yang mayoritas non-Muslim misalnya," tambah Ubaid.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.