PPN 12 Persen
Rieke PDIP Minta MKD Verifikasi Keaslian Surat Pemanggilan Dirinya
Rieke Diah Pitaloka angkat bicara soal aduan terhadap dirinya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Laporan Reporter Tribunnews.com, Reza Deni
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Rieke Diah Pitaloka angkat bicara soal aduan terhadap dirinya ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Aduan tersebut karena ada unggahannya di media sosial yang dianggap sebagai ajakan atau provokasi untuk menolak kebijakan PPN 12 persen.
Rieke sendiri mengaku sudah menerima surat pemanggilan tersebut ke MKD dari seorang staf MKD melalui pesan WhatsApp (WA) kepada stafnya pada Sabtu 28 Desember 2024 pukul 11.20 WIB.
Berdasarkan surat tersebut, sidang pemanggilan dirinya ini dijadwalkan pada Senin (30/12/2024) pukul 11.00 WIB di Ruang Sidang MKD DPR RI.
“Saya harus cek dulu apakah surat yang ditandatangani oleh Ketua MKD tersebut surat resmi dari Yang Mulia Pimpinan MKD atau bukan karena dikirim tidak pada hari kerja dan hanya lewat WA,” katanya melalui keterangan resmi, Senin (30/12/2024).
Kemudian, Rieke meminta maaf karena tidak bisa memenuhi panggilan tersebut dikarenakan sedang menjalankan tugas negara, yakni reses mulai dari 6 Desember 2024 hingga 20 Januari 2025.
Legislator PDIP itu juga meminta pimpinan MKD DPR RI untuk bisa memberikan informasi terkait hasil verifikasi atas keterangan saksi dan ahli sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan DPR RI Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI.
"Terkait identitas saksi yang dibuktikan dengan KTP atau identitas resmi lainnya. Kedua, pengetahuan saksi tentang materi perkara terbatas pada apa yang dilihat, didengar dan dialami sendiri,” kata dia.
Sebagai pihak teradu, Rieke mengaku sangat membutuhkan informasi terverifikasi seperti materi konten media sosial yang dimaksud pengadu dan kerugian materil/immateril akibat konten media sosial yang dimaksud bagi pengadu.
Dilaporkan ke MKD DPR
Diketahui, Anggota DPR RI Komisi VI DPR RI dari Fraksi DPP PDIP Rieke Diah Pitaloka atau yang terkenal dengan nama Oneng, dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam memastikan soal adanya pelaporan terhadap Rieketersebut. Surat tersebut ditandangani langsung oleh Dek Gam.
"Laporan ada, laporan ada, ini bener surat saya tandatangan kok," kata Dek Gam saat dihubungi awak media, Minggu (29/12/2024).
Kendati demikian, Dek Gam memastikan pemanggilan terhadap Rieke Diah Pitaloka belum dijadwalkan.
Sebab kata dia, saat ini seluruh anggota DPR RI tengah memasuki masa reses dengan sebagian besarnya mengunjungi daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
"Iya surat pemanggilan itu, iya surat pemanggilan itu memang aku tanda tangan, tapi kan kita masih libur nih. Masih reses, jadi anggota-anggota masih di Dapil. Jadi kita tunda dulu lah," kata dia.
Meski begitu, Dek Gam belum dapat berbicara lebih jauh soal persoalan yang dilaporkan ke MKD DPR terhadap Rieke Diah Pitaloka.
Saat disinggung soal kritik Rieke terhadap kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen saat rapat di DPR, Dek Gam tidak membantah.
"Waduh saya belum lihat lagi laporannya kemarin itu apa. Besok ya saya jelasin ya," tutur dia.
Politikus dari DPP PAN itu hanya dapat memastikan kalau pemanggilan terhadap Rieke 'Oneng' baru akan dilakukan setelah masa reses berakhir.
Diketahui, DPR RI akan kembali memulai masa sidang pasca reses yakni sekitar tanggal 21 Januari 2025 mendatang.
"Habis masa sidang nanti (dimulai)," tukas Dek Gam.
Tanggal Pemanggilan
Sebagai informasi, surat pemanggilan terhadap Rieke Diah Pitaloka itu tertanggal 27 Desember 2024 itu tertulis nomor 743/PW.09/12/2024.
Surat tersebut ditandatangani Nazaruddin Dek Gam sebagai Ketua MKD DPR RI.
Surat menyebutkan pengadu bernama Alfadjri Aditia Prayoga. Dia membuat aduan pada 20 Desember 2024.
Pengadu menilai Rieke melakukan pelanggaran kode etik. Karena memprovokasi kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
"Yang mengadukan saudara karena adanya dugaan pelanggaran kode etik atas pernyataan saudara yang dalam konten yang diunggah di akun media sosial terkait ajakan atau provokasi untuk menolak kebijakan PPN 12 persen," bunyi surat tersebut.
Sebelumnya, Anggota DPR RI Fraksi PDIP, RiekeDiah Pitaloka, meminta Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencana kenaikan PPN sebesar 12 persen pada 1 Januari 2025 mendatang. Keputusan diyakini akan berdampak besar kepada masyarakat.
Rieke menjelaskan bahwa penundaan kenaikan PPN 12 persen bertujuan untuk menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK) akan semakin meningkat. Selain itu, kenaikan PPN juga beepotensi akan menaikan harga kebutuhan pokok.
"Berdasarkan pertimbangan ekonomi dan moneter antara lain angka PHK meningkat, deflasi selama kurang lebih lima bulan berturut-turut yang harus diwaspadai berdampak pada krisis ekonomi dan kenaikan harga kebutuhan pokok," ujar Riekekepada wartawan, Sabtu (21/12/2024).
Rieke menjelaskan argumentasi pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen sesuai pasal 7 UU Nomor 7 tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dinilai juga tidak tepat. Dia meminta pemerintah harus mengambil secara utuh aturan tersebut.
Dalam Pasal 7 ayat (3) UU tersebut, tarif pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15% setelah berkonsultasi dengan alar kelengkapan DPR RI.
Dalam UU itu juga dijelaskan, Menteri Keuangan RI diberikan kewenangan menentukan besaran PPN perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
"Saya sangat mendukung Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12%," jelasnya.
Sebagai gantinya, Rieke mengusulkan pemerintah menerapkan dengan tegas self assessment monitoring system dalam tata kelola perpajakan.
Di antaranya, perpajakan selain menjadi pendapatan utama negara, berfungsi sebagai instrumen pemberantasan korupsi, sekaligus sebagai basis perumusan strategi pelunasan utang negara.
Selain itu, terwujudnya satu data pajak Indonesia, agar negara mampu menguji SPT wajib pajak, akurasi pemetaan, perencanaan penerimaan dan pengeluaran negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang legal maupun ilegal.
"Dan memastikan seluruh transaksi keuangan dan non- keuangan wajib pajak, wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan," jelasnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.