Kecelakaan Kereta Api di Bandung
Kilas Balik Tragedi Tabrakan Kereta Api Bintaro 1987, Telan Korban Ratusan Jiwa
Kecelakaan tabrakan kereta api di Cicalengka, Bandung mengingatkan pada tragedi tabrakan kereta di Bintaro, Jakarta Selatan pada 19 Oktober 1987.
Penulis:
Wahyu Gilang Putranto
Editor:
Suci BangunDS
Sejumlah pihak lain ikut andil menentukan sebuah kereta bisa berangkat atau tidak.
Ketika kereta melintasi antar-stasiun, hak penuh ada di tangan Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA).
Sementara di dalam stasiun, ada juru langsir yang mengatur rambu kereta.
Itulah para petugas yang memiliki kewenangan di luar lokomotif.
PPKA tidak memiliki kemampuan untuk memberangkatkan kereta secara mandiri.
Ia harus bekerja sama dengan dua atau tiga stasiun berikutnya untuk memastikan apakah jalur yang akan dilewati aman.
Tragedi Bintaro bermula dari kesalahan Kepala Stasiun Serpong saat memberangkatkan KA 225 dengan tujuan Jakarta Kota.
KA 225 kemudian berangkat ke Sudimara tanpa memeriksa kondisi di stasiun. Akibatnya, tiga jalur kereta yang ada di Stasiun Sudimara penuh.
Sebaliknya, KA 220 juga diberangkatkan menuju Sudimara dari Stasiun Kebayoran.
KA 220 dan KA 225 memiliki jalur yang berlawanan.
Karena keadaan ini, juru langsir di Sudimara harus segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga.
Masinis tidak dapat melihat semboyan dari juru langsir karena jalur kereta sangat padat.
KA 225, yang seharusnya pindah rel, tiba-tiba berangkat.
Semboyan 35 pun dilakukan. Yaitu semboyan suara yang dilakukan dengan cara masinis membunyikan klakson lokomotif secara panjang untuk menjawab kepada kondektur kereta api dan PPKA bahwa kereta api sudah siap untuk diberangkatkan.
Untuk memberi tahu kondektur kereta api dan PPKA bahwa kereta api sudah siap untuk diberangkatkan, masinis membunyikan suling (terompet atau klakson) lokomotif secara panjang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.