Kamis, 2 Oktober 2025

Pilpres 2024

Soroti Perubahan Syarat Capres-Cawapres, Koalisi Masyarakat Sipil: Putusan Terburuk Sejak MK Berdiri

Hubungan keluarga Hakim Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga jadi faktor yang disorot oleh banyak pihak.

Tribunnews/JEPRIMA
Suasana sidang permohonan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (16/10/2023). Mahkamah Konstitusi menolak gugatan batas usia capres-cawapres menjadi minimal 35 tahun dengan dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion yakni Suhartoyo dan Guntur Hamzah. Tribunnews/Jeprima 

Laporan Wartawan Tribunnews, Mario Christian Sumampow

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gabungan koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Perludem, ICW, Netgrit, Kontras, dan Pusako Universitas Andalas menyebut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) akan jadi sejarah putusan terburuk sepanjang keberadaan MK.

Selain sarat konflik kepentingan, hubungan keluarga Hakim Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga jadi faktor yang disorot oleh banyak pihak.

"Putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai salah satu putusan terburuk sepanjang keberadaan MK," ujar peneliti senior Netgrit Hadar Nafis Gumay dalam keterangannya, Selasa (17/10/2023).

"Bahkan, putusan ini adalah putusan yang penuh dengan konflik kepentingan, yang sukar untuk dibantah. Seberapa kuat pun presiden dan keluarganya coba membantah," sambungnya.

Pihak koalisi juga menyoroti MK yang inkonsisten dalam memutus perkara.

Hal itu, jelas Hadar, terlihat pada komparasi batas usia minimal calon presiden di berbagai negara, dengan kesimpulan kepala negara yang berusia 40 tahun dapat menjadi presiden dan/atau wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu.

Padahal komparasi itu sebelumnya digunakan oleh Pemohon dalam Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, yang dalilnya ditolak oleh MK.

Keserampangan penafsiran juga terlihat ketika MK menyebutkan batas usia minimal 40 tahun bagi capres dan cawapres adalah perlakuan yang tidak proporsional dan intolerable.

Hal itu juga persis dengan dalil pemohon pada Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, yang mendapatkan perlakuan berbeda, walaupun pengucapan putusannya dilakukan pada hari yang sama.

Lebih lanjut inkonsistensi MK juga terlihat dari perbedaan petitum yang dimintakan pemohon, dengan petitum yang dibuat sendiri oleh MK.

Pemohon meminta syarat alternatif usia berupa “…. Berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”. Namun, MK membuat sendiri amar putusannya dengan nomenklatur, “ …. Pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.

"Tanpa legal reasoning yang jelas seolah hanya untuk memperbaiki permohonan yang cacat secara substansi. Sungguh sikap lembaga peradilan yang sangat memalukan," tuturnya.

"Sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman, hakim MK yang memilih mengabulkan permohonan ini, mestinya punya sedikit kesadaran, bahwa apa yang mereka putus akan mengandung cacat akademik sepanjang masa," pungkas Hadar.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved