Selasa, 30 September 2025

Dugaan Korupsi di BAKTI Kominfo

Ahli di Sidang Kasus Korupsi BTS Kominfo Nilai Perhitungan BPKP Keliru, tak Bisa Jadi Bukti Kerugian

Ahli menilai pendekatan total loss yang digunakan BPKP dan Kejagung untuk menetapkan kerugian keuangan negara sebesar Rp8,03 triliun tidak tepat

Editor: Dodi Esvandi
Tribunnews/Ashri Fadilla
Lanjutan sidang kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Senin (16/10/2023) menghadirkan sejumlah saksi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli yang dihadirkan dalam kasus dugaan korupsi BTS 4G BAKTI Kominfo menilai pendekatan total loss yang digunakan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menetapkan kerugian keuangan negara sebesar Rp8,03 triliun tidak tepat dan prematur.

Dian Puji Nugraha Simatupang, ahli hukum keuangan publik dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyebut dalam penghitungan tersebut BPKP tidak mempertimbangkan bahwa pekerjaan masih berlanjut dan ada pengembalian uang yang dilakukan oleh konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).

“Dalam perkara dugaan korupsi, perhitungan kerugian keuangan negara itu harus nyata dan pasti. Apabila pekerjaan masih berjalan, maka belum nyata dan pasti perhitungannya,” ata Dian saat memberi keterangan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi BTS 4G dengan terdakwa Anang Achmad Latif, mantan direktur utama BAKTI Kominfo di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Dian menambahkan, perhitungan kerugian keuangan negara juga harus berdasarkan nilai buku yang wajar, dengan memperhitungkan berapa aset yang berkurang atau ke luar dan berapa yang masuk.

Baca juga: Kejagung Pastikan Bakal Panggil Pihak BPK Terkait Upaya Pengamanan Kasus BTS Kominfo

“Jadi, selain pengeluaran, perlu dilihat, apakah ada tercatat barang yang masuk, apakah ada pertambahan aset, apakah ada pengembalian aset ke kas negara. Pencatatan itu penting untuk membuktikan kerugian yang nyata dan pasti,” ujarnya.

Sementara Irmansyah, ahli audit keuangan negara yang juga dihadirkan menjadi saksi ahli berpendapat senada.

Menurutnya, perhitungan kerugian keuangan negara juga harus mempertimbangkan kejadian-kejadian penting yang bersifat material dan berpengaruh dalam nilai buku atau laporan keuangan.

“Apabila perhitungan menggunakan cut-off date tertentu, misalnya Maret 2022, tetapi ada kejadian-kejadian yang material yang berpengaruh, maka penghitungan tidak boleh berhenti di tanggal cut-off," katanya.

"Apabila kemudian terjadi pengembalian, maka harus ada koreksi atau penyesuaian laporan sebagaimana wajara dilakukan dalam membuat laporan audit. Kecuali, jika memang ada terminasi kontrak,” papar Irmansyah.

Irmansyah menjelaskan, metode perhitungan total loss dapat digunakan apabila aset yang diperoleh tidak punya nilai manfaat lagi.

Namun, apabila aset tersebut masih memiliki manfaat ekonomis di masa depan, maka perhitungan yang dilakukan harus menggunakan pendekatan selisih harga.

Baca juga: Alasan Kejagung Jerat Edward Hutahaean Pakai Pasal Suap di Kasus BTS Kominfo: Dia Komisaris PT Pupuk

“Perhitungan total loss dapat digunakan misalnya apabila kita butuh sepeda gunung, tetapi yang dibeli kemudian bukan sepeda gunung. Namun, apabila yang aset yang dibeli sudah sesuai, meski mungkin ada keterlambatan atau kesalahan prosedur, tetap harus dihitung karena barang-barang tersebut masih dicatat sebagain aset,” papar Irmansyah.

BPKP dan Kejaksaan sebelumnya menyebutkan kerugian keuangan dan perekonomian negara dalam kasus korupsi pengadaan BTS 4G sebesar Rp 8,03 triliun.

Perhitungan ini mengacu kepada jumlah menara yang belum selesai dibangun sebanyak 3.242 BTS hingga 31 Maret 2022 dari total 4.200 BTS yang harus dikerjakan.

Dalam persidangan, sejumlah saksi termasuk (Plt) Direktur Infrastruktur BAKTI, Danny Januar Ismawan mengatakan proyek itu tidak berhenti dan tetap berjalan meski ada adendum perpanjangan waktu.

Danny menyebut hingga Desember 2022 sudah ada 2.952 lokasi yang on air dan 2.190 yang sudah BAPHP (Berita Acara Pemeriksaan Hasil Pekerjaan), di luar dari 677 menara yang dikategorikan kahar.

Baca juga: Pihak BPK Bakal Dipanggil Kejaksaan Agung Terkait Upaya Pengamanan Kasus BTS Kominfo

Sementara Plt Direktur Keuangan BAKTI Kominfo Ahmad Juhari mengungkapkan, untuk pembangunan tahap I yang semula 4.200 menara BTS 4G, angka final pembelian yang dilakukan BAKTI hanya 4.112 titik dengan nilai total kontrak pembelian Rp10,8 triliun.

Nilai tersebut termasuk dengan pajak sebesar Rp1,3 triliun yang dipotong langsung.

Kemudian, pada April 2022 ada pengembalian dari konsorsium sebesar Rp1,7 triliun yang masuk ke kas negara.

Dengan demikian, pembayaran bersih kepada konsorsium pelaksana proyek berkisar Rp7,7 – 7,8 triliun, lebih kecil dari perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPKP.

Aldres Napitupulu, kuasa hukum Anang Achmad Latif mengatakan, berdasarkan keterangan ahli yang dihadirkan di persidangan, baik dari auditor, akuntan maupun ahli hukum keuangan negara, bisa disimpulkan bahwa penghitungan yang dilakukan BPKP tidak benar dan faktanya pekerjaan BTS 4G masih berlanjut sampai sekarang dan dapat dimanfaatkan.

“Ahli hukum keuangan negara tadi dengan tegas menyatakan bahwa harus benar penghitungannya. Berapa uang negara yang keluar itu baru bisa menilai kerugiannya berapa. Dalam perkara ini kan sidah ada uang yang dikembalikan. Jadi, nilai yang pasti dari uang negara itu hanya Rp7,7 triliun, tapi BPKP tetap menghitungnya sebesar Rp8 triliun,” ujarnya.

Baca juga: 6 Tersangka Korupsi Tower BTS Kominfo Segera Susul Johnny G Plate dkk ke Meja Hijau

Dalam kasus korupsi pembangunan tower BTS 4G Bakti Kominfo ini Kejaksaan Agung telah menetapkan 14 orang sebagai tersangka.

Rinciannya; 6 terdakwa sudah terdakwa, 6 tersangka segera dilimpahkan ke pengadilan, dan 2 tersangka yang baru ditetapkan.

Johnny Plate, Anang Latif, Yohan Suryanto, Irwan Hermawan, Galumbang Menak, Mukti Ali, Yusrizki, Elvano Hatohorangan, Feriandi Mirza, dan Jemy Sutjiawan dijerat dengan pasal korupsi.

Sedangkan Anang Latif, Galumbang Menak, dan Irwan Hermawan dijerat pasal korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Kemudian Windi Purnama hanya dijerat pasal TPPU.

Selain itu, Walbertus Wisang dijerat pasal perintangan proses hukum.

Adapun Edward Hutahaean dan Sadikin Rusli masuk ke dalam klaster upaya pengamanan perkara.

Baca juga: 4 Orang Dicegah ke Luar Negeri Terkait Korupsi Tower BTS Kominfo

Mereka yang dijerat korupsi dikenakan Pasal 2 ayat (1) subsidair Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Kemudian yang dijerat TPPU dikenakan Pasal 3 subsidair Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Adapun yang dijerat perintangan proses hukum dikenakan Pasal 21 atau Pasal 22 Jo. Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara yang terlibat pengamanan perkara dijerat pasal permufakatan jahat atau suap, yakni Pasal 15 atau Pasal 12B atau Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved