Kamis, 2 Oktober 2025

Akademisi Nilai Isi RUU Kesehatan Tumpang Tindih

saat ini masih ada sejumlah undang-undang lainnya di luar sepuluh undang-undang di atas yang masih mengatur banyak hal dari substansi RUU tersebut.

Penulis: Fahdi Fahlevi
Editor: Eko Sutriyanto
Tribun Jatim/Danendra Kusuma
ILUSTRASI - Petani tembakau di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mengeringkan daun tembakau panenan sebelum dirajang. 

Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahdi Fahlevi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Kris Wijoyo Soepanji, menilai draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan memiliki substansi yang terlalu luas.

Dirinya meminta Pemerintah perlu hati-hati salam melakukan finalisasi RUU Kesehatan.

"Niat baik pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi kesehatan seluruh masyarakat perlu didukung terutama melalui RUU Kesehatan, namun finalisasi RUU tersebut memerlukan langkah hati-hati karena cakupan substansi yang demikian luas,” ungkap Kris melalui keterangan tertulis, Sabtu (13/5/2023).

Adapun sepuluh undang-undang yang akan dicabut atau diubah via omnibus law RUU Kesehatan adalah UU Kesehatan, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kebidanan, UU Pendidikan Kedokteran, UU Wabah Penyakit Menular, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Praktik Kedokteran.

Kris menilai saking luasnya substansi dalam RUU Kesehatan, saat ini masih ada sejumlah undang-undang lainnya di luar sepuluh undang-undang di atas yang masih mengatur banyak hal dari substansi RUU tersebut.

Baca juga: Minta Revisi UU TNI Tak Cederai Semangat Reformasi, Wapres: Tidak Kembalikan Dwifungsi ABRI

“Asas-asas dalam hukum seperti Lex Specialis Derogat Legi Generali dan Lex Posterior Derogat Legi Priori tentunya akan dibutuhkan dalam penerapan substansi RUU Kesehatan dalam hubungannya dengan peraturan perundang-undangan yang terkait," tutur Kris.

Beberapa contoh misalnya soal dimasukannya narkotika dan psikotropika sebagai zat adiktif bersama dengan tembakau dan minuman beralkohol dalam RUU Kesehatan.

Padahal narkotika dan psikotropika telah diatur dalam undang-undang tersendiri.

Selain itu, penggolongan bersama ini juga tidak tepat karena tembakau legal, sedangkan narkotika dilarang oleh hukum.

Ada pula soal ketentuan standardisasi kemasan produk tembakau mulai dari kemasan, jumlah batangan, dan lainnya yang tertuang dalam Pasal 156 di RUU Kesehatan.

Padahal, hal ini juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan 217/2021 yang merupakan regulasi pelaksana dari UU 39/2007 tentang Cukai.

Sehingga pasal-pasal soal tembakau dalam RUU Kesehatan dinilai terlalu luas dan tumpang tindih dengan regulasi lain.

“Atas dasar ini, DPR dan pemerintah jangan sampai terburu-buru untuk mengesahkan RUU Kesehatan. Pemerintah dan DPR perlu memastikan banyak aspek terlebih dahulu sebelum akhirnya memfinalisasi RUU Kesehatan,” kata Kris.

Kris menjelaskan aspek-aspek yang perlu dipastikan adalah kepastian koherensi regulasi yang dilakukan oleh para ahli hukum.

Hal ini berguna untuk memastikan agar regulasi tidak tumpang tindih atau bahkan berlawanan.

“Para penyusunan kebijakan juga perlu memastikan bahwa kepentingan masyarakat akan terjamin atas pengesahan RUU Kesehatan ini,” pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved