Senin, 6 Oktober 2025

Rancangan KUHP

KUHP Baru Jadi Senjata Baru Perangi Tindak Terorisme dan Efektifkan Upaya Deradikalisasi

Lahirnya KUHP Baru menandakan bahwa politik hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan dan pergeseran dari kolonial menjadi progresif.

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Dewi Agustina
Istimewa
Talkshow “Quo Vadis Pemberantasan Terorisme di Indonesia menurut KUHP Baru: Suatu Catatan Akhir Tahun” yang diselenggarakan Kominfo bersama Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Minggu, 12 Desember 2022. 

Menurutnya, perihal pendanaan terorisme memang agak unik, karena yang menjadi bermasalah adalah penggunaan ataupun pemanfaatan dari dana tersebut. Ia mengatakan bahwa pendanaannya bisa dari aktivitas yang ilegal maupun aktivitas yang sah.

“Kalau di sisi uangnya memang tidak bermasalah, masalahnya karena tujuannya yang berdasarkan Undang-Undang dinyatakan sebagai kejahatan,” tuturnya.

Terkait dengan lingkup teritorialnya, Ia menjabarkan bahwa TPPT di dalam KUHP Baru hanya berlaku bagi setiap orang yang melakukan Tindak Pidana di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Tindak Pidana di Kapal Indonesia atau di Pesawat Udara Indonesia, dan Tindak Pidana di bidang teknologi informasi.

“Ini yang nanti kita perlu regulasi yang berkaitan dengan pencegahan pemberantasan money laundering, pendanaan terorisme, dan ada juga pendanaan proliferasi, itu harus mengikuti standar internasional yang ada dan kita harus comply dengan standar tersebut,” jelasnya.

Membahas mengenai diversi dan deradikalisasi, Koordinator Tim Analisis dan Evaluasi Penegakan Hukum, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Rahmat Sori Simbolon, mengungkapkan, di tahun 2010 hingga 2015 terdapat sebanyak 24 pelaku dan narapidana terorisme yang merupakan anak-anak, 15 di antaranya sudah di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) dengan salah satunya yang melakukan residivisme; pengulangan tindak pidana terorisme.

Menurutnya, salah satu syarat untuk melakukan diversi yaitu maksimal ancaman tujuh tahun, telah membuat ruang gerak untuk melakukan diversi terhadap anak menjadi lebih sempit.

Ia mengatakan bahwa menyidangkan perkara orang dewasa lebih mudah, karena rentang waktu dan kebebasan untuk melakukan penahanan lebih lebar dibandingkan dengan anak. Maka dari itu, sejauh pengetahuannya, hingga saat ini belum ada anak yang di diversi secara resmi.

“Ketika mau melanjutkan peradilan anak, dan jika diversi ini gagal atau tidak memenuhi syaratnya, itu memerlukan effort yang luar biasa. Ada berapa pihak yang harus hadir di dalam peradilan anak walaupun tertutup?"

"Bukan hanya memanggil satu orang di satu tempat, tetapi butuh koordinasi. Maka sebenarnya dari diskusi kami, apakah tidak sebaiknya kalau untuk diversi anak-anak ini syaratnya sedikit diperlebar? Bukan hanya sekedar ancaman pidana maksimal tujuh tahun, tetapi juga kualitas dari keterlibatan si anak,” jelasnya.

Mengenai deradikalisasi, Rahmat mengatakan bahwa proses itu dimulai ketika para pelaku terorisme telah ditangkap. Menurutnya, disadari atau tidak, perilaku atau tindakan yang dilakukan oleh petugas rutan dan lapas yang bersikap baik, sebenarnya merupakan salah satu bentuk deradikalisasi.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved