Senin, 6 Oktober 2025

Respons Putusan MK, Koalisi Minta Pemerintah Beri Solusi bagi Penderita Cerebral Palsy Anak

Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan meminta Pemerintah memberi solusi kepada penderita celebral palsy anak yang menggunakan terapi minyak ganja

Harian Warta Kota/henry lopulalan
Relawan saat kampanye Peringatan Hari Cerebral Palsy Sedunia di area Hari Bebas Kendaraan Bermotor , Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (8/10). Pemerintah diminta memberi solusi kepada Cerebral Palsy Anak yang masih menggunakan pegobatan terapi minyak ganja 

Hakim Konstitusi Suhartoyo mengatakan kebutuhan akan adanya kepastian dapat atau tidaknya jenis Narkotika Golongan I digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau terapi sudah sejak lama menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.

Hal tersebut, kata dia, dibuktikan dengan adanya fakta hukum dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 35/2009 yang sudah mencantumkan "larangan secara tegas penggunaan jenis Nakotika Golongan I untuk terapi".

Dengan kata lain, lanjut dia, sesungguhnya fenomena perihal kebutuhan terhadap jenis Narkotika Golongan I untuk dapat dimanfaatkan guna keperluan terapi sudah muncul sejak sebelum UU 35/2009 diundangkan.

Hal tersebut disampaikannya dalam sidang pengucapan putusan permohonan uji materiil UU 35/2009 tentang Narkotika oleh Santi Warastuti dkk di Gedung Mahkamah RI Jakarta Pusat pada Rabu (20/7/2022).

"Dengan demikian melalui putusan a quo agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo berkenaan dengan pengkajian dan penelitian jenis Narkotika Golongan I untuk keperluan pelayanan kesehatan dan/atau terapi, yang hasilnya dapat digunakan dalam menentukan kebijakan," kata Suhartoyo.

"Termasuk dalam hal ini dimungkinkannya perubahan undang-undang oleh pembentuk undang-undang guna mengakomodir kebutuhan dimaksud," sambung dia.

Sebab, kata Suhartoyo, penyerahan kewenangan oleh Mahkamah kepada pembentuk undang-undang didasarkan karena UU 35/2009 a quo tidak hanya mengatur tentang penggolongan jenis narkotika, akan tetapi termasuk di dalamnya juga mengatur tentang sanksi-sanksi pidana.

Oleh karena terhadap undang-undang yang di dalamnya memuat substansi hal-hal yang berkenaan dengan pemidanaan (kriminalisasi-dekriminalisasi), kata dia, Mahkamah dalam beberapa putusannya telah berpendirian hal-hal tersebut menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang atau open legal policy.

Sehingga, terhadap UU 35/2009 inipun cukup beralasan apabila pengaturan norma-normanya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menindaklanjutinya.

Hal tersebut, lanjut dia, karena di samping mengatur pemanfaatan narkotika yang diperlukan pengaturan yang sangat rigid dan secara substansial narkotika adalah persoalan yang sensitif, serta memuat sanksi-sanksi pidana.

Pemerintah bersama para pemangku kepentingan, kata dia, juga harus mengatur secara detil tentang antisipasi kemungkinan adanya penyalahgunaan jenis Narkotika Golongan I.

Hal tersebut, lanjut dia, harus dilakukan apabila berdasarkan hasil pengkajian dan penelitian ternyata jenis Narkotika Golongan I dapat dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan/atau terapi dan memerlukan peraturan-peraturan pelaksana, lanjut dia.

"Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah juga mengingatkan agar pembentuk undang-undang, termasuk pembuat peraturan pelaksana harus benar-benar cermat dalam mengantisipasi hal-hal tersebut, mengingat kultur dan struktur hukum di Indonesia masih memerlukan edukasi secara terus menerus," kata dia.

Ketua MK Anwar Usman kemudian menyatakan MK menolak untuk seluruhnya permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Putusan tersebut diucapkannya dalam sidang yang dihadiri seluruh hakim konstitusi dan terbuka untuk umum.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved