Bursa Capres
Apresiasi Nota Kesepahaman KIB, Pengamat: Atmosfer Pertarungan Capres 2024 Makin Dinamis
Ia memprediksi, setidaknya akan ada tiga poros utama dalam kandidasi Pilpres 2024 mendatang.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga ketua umum partai politik secara resmi menandatangani nota kesepakatan membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Ketiga ketua umum partai itu adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golongan Karya (Golkar) Airlangga Hartarto, Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa dan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, di Jakarta, Sabtu (4/6/2022) malam.
Ketua Umum Solidaritas Pemersatu Bangsa Indonesia (PBI) Iswadi menyampaikan sebuah sorotan dan apresiasi khusus terhadap kesepakatan tersebut.
"Insya Allah KIB akan menjadi atmosfer pertarungan capres (calon presiden) 2024. Dengan bersatunya partai ini dengan istilah beringin, matahari, dan ka'bah dipastikan akan menjadikan atmosfer pertarungan capres 2024 makin dinamis," ujarnya, dalam keterangannya, Minggu (5/6/2022).
Baca juga: Tegas Projo Soal Hadiri Silatnas Koalisi Indonesia Bersatu: Projo Bukan Anggota KIB
Eks Ketua Relawan Jokowi-JK Provinsi Aceh itu menjelaskan, dengan adanya KIB ini bisa memainkan peran strategis dalam bandul pertarungan Capres ke depan.
Pembina Yayasan Al-Mubarrak Fil-Ilmi tersebut juga mengatakan, poros utama KIB yang akan ikut pertarungan di pemilihan presiden (pilpres) 2024 akan makin nyata karena pembentukan poros tersebut.
"Ini bukan dasar pada poros kandidat (figur), tetapi lebih merefleksikan poros atau fragmentasi kekuatan partai-partai politik sebagai satu-satunya pemegang otoritas politik dalam mengusung pasangan Capres-Cawapres di Pilpres 2024 mendatang," ucapnya.
Dia menambahkan, poros ini juga bersifat fleksibel, cair dan bergerak dinamis, karena selain pada variabel-variabel penting lain seperti sumber daya logistik dan infrastruktur partai dalam menghadapi pemilu.
"KIB juga terbuka untuk partai mana pun yang ingin bergabung," ujar alumnus Program Doktoral Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Jakarta tersebut.
Iswadi menyatakan, dengan tingginya angka presidential threshold (PT) 20 persem kursi atau 25 persen suara sah nasional, setidaknya akan ada tiga poros utama dalam kandidasi Pilpres ke depan.
"Poros pertama PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang memegang supremasi elektoral dua kali pemilu berturut-turut (Pemilu 2014 dan 2019). Sebagai the rulling party yang mengendalikan jalannya kekuasaan, PDIP tentu berkepentingan untuk memenangkan kembali Pilpres 2024. Dengan modal 128 kursi parlemen (DPR RI), PDIP sudah cukup mengusung Capres tanpa koalisi," ujarnya.
Sedangkan poros kedua atau kunci utama, Partai Golkar, PPP dan PAN malah sudah berjalan, KIB ini diperkirakan terus bertambah dengan partai-partai papan tengah.
"Sebagai pemenang pemilu dengan jumlah kursi terbesar kedua setelah PDIP, Golkar tak akan absen dari pertarungan capres karena sejauh ini, dukungan terhadap Airlangga Hartarto sebagai sangat bergemuruh di internal maupun di masyarakat," tutur Iswadi.
Bahkan di poros ketiga, sambungnya, akan ada bayang-bayang Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) untuk tetap mengusung Ketua Umumnya, Prabowo Subianto sebagai capres.
Baca juga: Politikus Golkar sebut Koalisi Indonesia Bersatu Bak Orang Pacaran Menuju Hari Bahagia 2024
Dalam konteks ini, Gerindra tetap membutuhkan teman koalisi untuk memenuhi syarat formal pencalonan.
"Ekspektasi atas lahirnya tiga poros tersebut tentu didasarkan pada pengalaman buruk Pilpres 2019 yang hanya menghadirkan dua poros utama sehingga menyebabkan terjadinya gejala divided society," kata Iswadi.
Saat itu, segmentasi masyarakat menjadi makin terpolarisasi ke dalam dua kutub yang berseberangan secara diametral, yakni pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin dan pendukung Prabowo-Sandi. Kondisi ini cukup menguras energi dan menghadirkan ketegangan politik tinggi.
"Meskipun sudah bergabungnya Gerindra ke dalam pemerintah. Pembelahan antarkubu cebong dan kampret, juga belum berhenti meski Prabowo dan Sandi kini telah menjadi anggota kabinet," ungkapnya.
Alumnus Institut Perguruan Darul Aman Malaysia ini menambahkan, yang penting menjadi catatan, calon-calon yang berasal dari partai politik baik dalam kapasitasnya sebagai ketua umum maupun elite partai lebih berpeluang mendapatkan tiket pencalonan mengingat otoritas tunggal partai politik sebagai pemegang kendali pencapresan.
Sebab pintu pencalonan tetap menjadi domain dan wewenang partai politik.
"Bisa saja, nama-nama yang beredar dengan elektabilitas tinggi, tidak bisa melenggang mulus dalam medan pertarungan karena tidak mendapatkan dukungan partai-partai politik," tandasnya.