Tes Keperawanan
Cerita Purnawirawan Polri Bintang Satu Menentang ''Tes Keperawanan''
Brigjen Pol (Purn) Sri Rumiati menceritakan pengalamannya menentang "tes keperawanan" dalam proses seleksi calon anggota Polri.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Brigjen Pol (Purn) Sri Rumiati menceritakan pengalamannya menentang "tes keperawanan" dalam proses seleksi calon anggota Polri.
Sri mengaku menentang adanya tes tersebut di antaranya karena pengalamannya selama bertugas di Kepolisian kerap menangani korban perkosaan.
Tahun 2006, Sri mendapat kesempatan mewakili atasannya dalam penentuan penerimaan seleksi baik untuk Bintara Polri maupun Akpol.
Ia mengatakan saat berdiskusi menentukan persyaratan untuk menjadi anggota Polri baik dari Bintara maupun yang akan masuk ke Akpol, ia melihat salah satu klausul dalam aspek kesehatan.
Saat itu, ia melihat ada frasa "hymen yang utuh" dalam persyaratan yang harus dipenuhi.
Kata-kata itu kemudian membuatnya bertanya apa maksudnya dari frasa tersebut.
Saat itu, kata dia, dokter mengatakan bahwa frasa tersebut terkait dengan masalah keperawanan dan moralitas calon.
Baca juga: Komisi I DPR Dukung TNI AD Hapus Tes Keperawanan Bagi Calon Kowad
Kemudian ia bertanya lagi terkait mengapa tes tersebut harus dilakukan pada calon perempuan sedangkan tidak pada calon laki-laki.
Hal tersebut disampaikannya saat Konferensi Pers virtual bertajuk Penghapusan "Tes Keperawanan" Angkatan Bersenjata: Kemenangan Untuk Perempuan? pada Rabu (1/9/2021).
"Bagaimana dengan laki-laki yang keluar masuk pelacuran? Apakah dia bisa dikategorikan sebagai laki-laki yang bermoral baik? Karena ini forum diskusi, itu saya tanyakan," kata dia.
Ia mengatakan saat melontarkan pertanyaan tersebut banyak yang menentangnya kala itu.
Hal yang membuatnya sedih adalah mereka yang menentang bukan hanya dari laki-laki melainkan juga dari kaum perempuan.
"Ya akhirnya saya menjadi dibully-lah waktu itu. Nanti kalau ada tes keperjakaan, Bu Sri yang meriksa ya? Oh boleh saja, Pak. Saya tidak mau menangapi itu, tapi kita dalam forum supaya bagaimana caranya usul kita diterima," kata dia.
Ia kemudian menyampaikan bahwa tugas utama polisi adalah menegakkan hukum termasuk semua Undang-Undang yang berlaku di negara harus dipatuhi.
Sri kemudian menyampaikan bahwa di awal pembukaan Undang-Undang Dasar alinea keempat tercantum kalimat bahwa negara harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.
Kemudian, kata dia, saat itu Indonesia juga sudah meratifikasi Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 yang pada pokoknya menyatakan negara menghapuskan semua bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Karena tugas utama polisi jelas menegakkan hukum, kata dia, maka kewajiban polisi juga harus menghormati dan melaksanakan Undang-Undang tersebut.
Saat itu, para peserta dalam forum diskusi untuk menentukan persyaratan seleksi Bintara Polri dan Akpol tersebut menanyakan terkait Undang-Undang tersebut.
Sri kemudian menyampaikan bunyi Undang-Undang tersebut kepada mereka.
Ia yang masuk kepolisian sebagai psikolog mengatakan kerap menangani menangani masalah perempuan dan anak-anak baik dia sebagai korban, pelaku, maupun saksi selama masih aktif di Kepolisian.
Selain itu, ia pun pernah melakukan penelitian bersama Universitas Gadjah Mada pada 2002 tentang bagaimana polisi menangani kasus-kasus KDRT.
Menurutnya berdasarkan penelitian itu polisi banyak dihujat karena banyak korban perkosaan yang tidak ditangani.
Baca juga: Pengamat Militer Pertanyakan Penghapusan Tes Keperawanan dalam Rekrutmen Kowad
Ia mengatakan hal tersebut merupakan dampak dari terjadinya kerusuhan 1998 dan di dalam Undang-Undang sulit bagi polisi untuk melakukan penanganan tersebut.
"Jadi karena saya menangani anak-anak yang menjadi korban perkosaan, saya terus terang saja sangat sensitif dengan masalah ini," kata Sri.
Logika Sri sederhana
Negara, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.
Namun apabila negara tidak bisa melindungi korban perkosaan akibat konflik misalnya, apakah institusi negara seperti Polri harus mewajibkan "tes keperawanan" juga kepada para korban tersebut?
Ia pun mempertanyakan apakah para korban tersebut serta merta menjadi amoral lantaran mereka diperkosa saat konflik terjadi.
"Kalau tes ini diberlakukan, berarti kita juga menutup masa depan mereka untuk mengabdi kepada negara melalui polisi maupun TNI. Karena itu sudah sangat jelas, tahun 1984 pun saya sebelum masuk, itu dilaksanakan tes itu," kata dia.
Akhirnya, kata Sri, pada saat itu disepakati, pada proses seleksi calon Bintara Polri dan Akpol tahun 2006 "tes keperawanan" tidak boleh dilakukan tetapi tidak dalam bentuk hitam di atas putih.
Meskipun saat itu tes tersebut disepakati tidak dilaksanakan namun tidak ada Surat Keputusan (SKEP) yang menegaskan bahwa tes tersebut tidak boleh dilakukan.
Ia pun ternyata masih kerap menerima adanya pengaduan yang mengungkapkan bahwa tes tersebut masih dilakukan di sejumlah wilayah.
"Saya mendengar banyak cerita pengaduan, bahwa ternyata diam-diam tes itu masih dilakukan. Saya ingatkan, ingat lho, polisi itu menegakkan hukum. Kita punya Undang-Undang yang harus kita patuhi. Oke sekarang dalam polisi, saya mungkin tidak akan bisa bicara banyak, tapi kalau nanti masyarakat protes yang akan rugi polisi sendiri, bagaimana menjawabnya?" kata dia.
Selain itu, ia pun mengungkapkan pengalamannya pada 2008 saat Polwan beraudiensi dengan wanita DPR.
Ketika itu, kata dia, ia berdiskusi dengan seorang peserta audiensi yang menyatakan bahwa syarat Polwan harus perawan.
Saat itu, kata Sri, ia menjelaskan bahwa di Indonesia masyarakat yang terdiri dari beragam latar belakang sangat rawan terjadi konflik.
Baca juga: Respons TNI AU Soal Tes Keperawanan Dalam Proses Rekrutmen di Lingkungan TNI
Di wilayah konflik, kata dia, perempuan dan anak kerap menjadi korban termasuk juga korban perkosaan.
Ia pun mempertanyakan perihal bagaimana negara bisa menjamin untuk melindungi warganya bebas perkosaan.
Menurut Sri, jika memang negara tidak mampu untuk menjamin tidak ada perkosaan "tes keperawanan" tersebut sudah seharusnya tidaj dilakukan.
Sri mengatakan soal urusan moral seharusnya memang dibuat ukuran-ukuran di luar "tes keperawanan".
"Apakah hanya sekadar hymen itu bisa menjamin? Sementara selama ini tidak ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa perempuan yang rusak hymennya pasti rusak moralnya. Bahwa perempuan yang tidak perawan pasti sudah tidak produktif dalam bekerja. Belum ada satupun penelitian yang menunjukkan itu," kata dia.
Ia pun menegaskan seharusnya negara memberi kesempatan seluas mungkin pada anak-anak bangsa mengabdi ke negara, baik melalui polisi maupun TNI.
Sri kemudian mengungkapkan bahwa polemik terkait "tes keperawanan" di tubuh kepolisian berakhir setelah Kapolri yang menjabat saat itu, Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Keputusan bahwa tes itu tidak boleh lagi dilakukan di kepolisian.
"Kalau sudah ada hitam di atas putih tentu semua wajib mematuhi aturan itu," kata dia.