Kolaborasi Program MBKM dan Teknologi Jadi Solusi Akses Pembelajaran Inklusif Bagi Masyarakat
Kondisi angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia yang masih rendah.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Rektor UI Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Prof Abdul Haris mengungkapkan tentang kondisi angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Indonesia yang masih rendah.
Ia menyebut, dari 100 orang usia sekolah hanya kurang lebih 31 orang yang mampu melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Hal itu disampaikan Prof Abdul Haris dalam seminar daring bertajuk Future Talks: Reimagine The Future yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia.
“Dari setiap 100 penduduk usia sekolah yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang universitas, hanya ada 31 orang yang benar-benar mendapatkan kesempatan itu,” kata Prof Abdul Haris dalam keterangan yang diterima, Selasa (4/5/2021).
Menurut Prof Abdul, keterbatasan finansial dan keterbatasan infrastruktur sering menjadi faktor penghambat dari akses masyarakat ke bangku pendidikan tinggi.
Baca juga: BPIP: Pendidikan Pancasila Diperlukan Karena Generasi Milenial Mengalami Benturan Digital
Selain itu, program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) disertai dengan pola perkuliahan daring akan menjadi salah satu harapan untuk memperluas akses anak-anak Indonesia dalam memperoleh pembelajaran di perguruan tinggi.
Salah satu Kebijakan MBKM adalah hak belajar tiga semester di luar program studi yang dapat diambil setiap mahasiswa.
Ada delapan bentuk kegiatan pembelajaran yang dapat dikonversi menjadi satuan kredit perkuliahan, yaitu pertukaran pelajar, magang, asistensi mengajar, penelitian, proyek kemanusiaan, wirausaha, proyek independen, dan membangun desa.
Baca juga: Bamsoet: Pendidikan Tinggi Harus Bisa Dinikmati Seluruh Warga Negara
"Bila digabungkan dengan unsur teknologi, MBKM dapat menjadi sebuah solusi akses pembelajaran yang inklusif bagi masyarakat," ucapnya.
Sementara, Staf Ahli Kemenko Perekonomian Dr Raden Edi Prio Pambudi menyebut, faktor teknologi ini juga menjadi salah satu pembahasan penting.
Terlebih, kata Raden, perubahan adalah suatu keniscayaan dalam hidup.
“Siap tidak siap, kita harus berubah. Waktu berganti, teknologi berkembang, dan setiap orang selalu mencari cara yang mudah. Teknologi mengubah perilaku, merubah peradaban, kita tidak bisa lagi mempertahankan sesuatu yang lalu bila ingin berkembang,” ujar Edi.
Lalu, Presiden Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyampaikan bagaimana disrupsi mengubah kehidupan secara drastis beserta strategi agar terus menjadi relevan.
Baca juga: 20 Persen APBN untuk Pendidikan Tapi IPM Indonesia di Peringkat 107 dari 189 Negara
Menurutnya, tidak hanya terdisrupsi oleh kompetitor, melainkan juga oleh pandemi yang menuntut harus beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi.
“Pesan saya, agar teman-teman belajar lebih giat dan memanfaatkan MBKM untuk berinovasi menghadapi disrupsi,” kata Ridzki.
Direktur L’Oreal Indonesia Umesh Phadke menyebut, kemampuan-kemampuan non-mesin menjadi salah satu kriteria yang kini dipergunakan perusahaan-perusahaan besar dalam merekrut tim.
Ia memaparkan bahwa terdapat empat karakter kunci dalam seorang individu untuk dapat menjadi SDM unggul, yaitu: learning agility; ambition and resilience; judgement; dan empathy.
Keempat karakter tersebut sangat penting untuk menciptakan suatu lingkungan yang kondusif, kolaboratif, dan inovati baik di kehidupan perkuliahan maupun di dunia kerja.
Dalam kesempatan itu, CEO BumiLangit Entertainment Bhismarka Kurniawan menekankan pentingnya mengembangkan kreativitas, mengingat besarnya peluang dan prospek industri hiburandi Tanah Air.
“Indonesia adalah negara terbesar di dunia dari segi entertainment spending. Negara kita dari segi pasar, kebiasaan, maupun kultur sangat dekat dan sangat suka dengan ranah hiburan,” katanya.
Terakhir, Asisten Deputi Bidang Kerjasama Multilateral Kemenko Perekonomian Ferry Ardiyanto memaparkan tentang pentingnya kerja sama internasional dalam menghadapi masalah dunia pendidikan di masa pandemi Covid-19.
Menurutnya, pandemi menghasilkan masalah kesenjangan sosial dalam hal akses pendidikan, karena tidak semua keluarga bisa mengakses layanan internet untuk dapat melakukan kegiatan belajar daring.
Untuk itu, kerja sama-kerja sama internasional dalam bidang ekonomi sangat penting agar infrastruktur terkait layanan teknologi dapat menjangkau semua lapisan masyarakat.