Minggu, 5 Oktober 2025

Kasus Djoko Tjandra

Djoko Tjandra Mengaku Diajak Bertemu Ma’ruf Amin, Pinangki Minta Uang USD 100 Juta

Kasus pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) Djoko Tjandra kini menyeret nama Wakil Presiden Ma'ruf Amin

Editor: Choirul Arifin
Tribunnews/Irwan Rismawan
Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Brigjen Pol Prasetijo Utomo menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2021). Mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri itu dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan hukuman 2,5 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan karena menerima suap 100 ribu dolar AS dari Djoko Tjandra. Tribunnews/Irwan Rismawan 

Djoko Tjandra juga mengatakan Pinangki saat bertemu dengannya menawarkan tentang fatwa Mahkamah Agung.

Djoko menyebut Pinangki mempresentasikan langsung rencana pengajuan fatwa MA itu.

"Mekanisme yang ditawarkan saat itu adalah mekanisme yang disebut namanya fatwa MA. Kira-kira fatwa itu akan bersurat Kejagung kepada MA, dan MA mengeluarkan fatwa. Lalu, pihak Kejagung membuat SE terhadap fatwanya. Pinangki jelaskan itu," jelasnya.

Namun Djoko Tjandra akhirnya menolak action plan berisi 10 poin yang diajukan Pinangki itu. Ia ragu terhadap action plan yang diterimanya dari Andi Irfan Jaya itu.

"Setelah saya terima action plan itu, saya baca dari 10 butir action plan, tidak ada satu dari action plan itu yang bisa saya mengerti, maksudnya, satu, misalkan, meminta kepada saya memberikan security deposit dengan memberikan hak-hak absolut, substitusi, untuk menggadaikan aset saya, memberikan wewenang kepada mereka menentukan harga dan menjual dengan waktu kapan saja," kata Djoko Tjandra.

"Security deposit yang dimintakan kepada saya itu, itu selama hidup saya selama ini sebagai pengusaha lebih dari 55 tahun, tidak pernah saya baca surat kuasa seperti itu," tambahnya.

Alasan kedua, Djoko Tjandra meragukan rencana kerja di poin kedua terkait rencana Kejaksaan Agung bersurat ke MA.

Menurutnya, rencana itu tidak lazim dan mustahil terjadi. "Saya menganggap itu sesuatu yang tidak lazim, dan tidak mungkin bisa terjadi," tegasnya.

Dia juga kesal karena isi action plan itu kebanyakan meminta uang. Padahal, kegiatan kerja belum tertuang di action plan itu.

"Belum juga kerja, itu baru proposal, saya sudah ditagih lagi 25 persen consultant fee, yang mana mereka belum juga kerja," ucapnya.

"(Poin action plan) lima, enam, tujuh, itu semua sifatnya tidak masuk di akal. Sehingga pada poin ke-8 mereka meminta saya membayar USD 10 juta," tambahnya.

Djoko Tjandra mengaku sudah mempelajari action plan itu sebanyak dua kali. Dia menilai action plan itu sebagai modus penipuan yang dibuat Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.

"Saya mengatakan kepada Anita Dewi Kolopaking, ini sifatnya penipuan, ini bukan proposal. Ini proposal penipuan, saya tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang itu," ujar Djoko Tjandra.

Dalam kasus ini Djoko Tjandra didakwa bersama Tommy Sumardi memberikan suap ke dua jenderal polisi, yaitu mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte senilai SGD 200 ribu dan USD 270 ribu.

Kepada mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Brigjen Prasetijo Utomo senilai USD 150 ribu.

Djoko Tjandra juga turut didakwa menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sejumlah SGD 500 ribu untuk mengurus fatwa MA.

Pengurusan fatwa ini agar Djoko Tjandra terbebas dari hukuman dua tahun penjara kasus hak tagih Bank Bali.(tribun network/dng/den/dod)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved