Dua Menteri Soroti Polemik Aturan Wajib Jilbab bagi Siswi Non-Muslim di Padang, Ini Tanggapannya
Dua menteri, yakni Mahfud MD dan Nadiem Makarim soroti aturan wajib berjilbab pada siswi non-muslim di SMK N 2 Padang beberapa waktu lalu.
TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu, sempat viral video memperlihatkan pihak sekolah mewajibkan siswi non-muslimnya untuk memakai jilbab.
Diketahui, aturan itu berlaku di SMK N 2, Padang, Sumatera Barat.
Kasus ini cukup menuai polemik di tengah masyarakat.
Viralnya video ini, lantas mendapat sorotan dari dua menteri tanah air, yakni Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM.
Lalu, Menteri Pendidikan dan Budaya Nadiem Makarim juga ikut menyoroti kasus itu.
Keduanya sama-sama menyayangkan sikap pihak sekolah itu.
Baca juga: Siswi Non-muslim Tak Wajib Pakai Jilbab, Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang Tegaskan Hal Itu
Baca juga: Soal Aturan Jilbab bagi Siswi non-Muslim, Kepala SMKN 2 Padang Siap Dipecat, tapi Ada Syarat
Berikut dua tanggapan Menteri terkait polemik aturan wajib jilbab bagi siswi non-muslim di Padang, dikutip Tribunnews dari berbagai sumber.
1. Tanggapan Mahfud MD
Polemik aturan wajib jilbab bagi siswi non-muslim mendapatkan sorotan dari Menteri Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud MD.
Mahfud MD memberikan tanggapannya soal isu ini lewat akun twitternya, @mohmahfudmd.
Pada cuitannya itu, ia memberikan sedikit cerita kilas balik pada beberapa tahun lalu.
Dimana, sempat ada aturan yang melarang siswi menggunakan jilbab.
Baca juga: Munarman Ungkap Kondisi Habib Rizieq Shihab di Rutan Bareskrim
Baca juga: Mahfud MD Beri Tanggapan soal Janji Listyo Sigit Prabowo tentang Polisi yang Terlibat Narkoba
"Akhir 1970-an sampai dengan 1980-an anak-anak sekolah dilarang pakai jilbab."
"Kita protes keras aturan tersebut ke Depdikbud," tulis Mahfud, Minggu (24/1/2021).
Menurut Mahfud, hal itu tidak boleh berlaku sebaliknya untuk pelajar non-muslim.
"Setelah sekarang memakai jilbab dan busana muslim dibolehkan dan menjadi mode."
"Tentu kita tak boleh membalik situasi dengan mewajibkan anak non muslim memakai jilbab di sekolah," cuitan Mahfud.
Baca juga: Permintaan Maaf Kepala SMKN 2 Padang: Kita Tidak Memaksa Anak-anak Pakai Jilbab, Itu Aturan Lama
Baca juga: Kemendikbud Dukung Disdik Sumbar Tindak Oknum Sekolah yang Mewajibkan Siswi Nonmuslim Berjilbab
Menkopolhukam ini kembali menceritakan, dimana sempat merasa ada diskriminasi terhadap kaum non muslim
"Sampai dengan akhir 1980-an di Indonesia terasa ada diskriminasi terhadap orang Islam," tulis Mahfud.
Namun pada tahun 1990, kaum muslim semakin mendapatkan pengakuan dalam demokrasi.
"Tapi berkat perjuangan yang kuat dari NU Muhammadiyah dll, terutama melalui pendidikan, demokratisasi menguat."
"Awal 90-an berdiri ICMI. Masjid dan majelis taklim tumbuh di berbagai kantor pemerintah dan kampus-kampus," lanjut tulis Mahfud.

Baca juga: Siswi Non Muslim di Padang Diwajibkan Pakai Jilbab Dinilai Langgar Nilai Kebangsaan
Baca juga: Siswi Non-Muslim di Padang Wajib Pakai Jilbab, Legislator PPP: Tidak Boleh Diskriminasi di Sekolah
Mahfud menyampaikan, sekita tahun 1950, pemerintah membuat kebijakan dimana sekolah umum dan sekolah memiliki pengaruh yang sama.
"Pada awal 1950-an Menag Wahid Hasyim (NU) dan Mendikjar Bahder Johan (Masyumi) membuat kebijakan: sekolah umum dan sekolah agama mempunyai "civil effect" yang sama."
"Hasilnya, sejak 1990-an kaum santri terdidik bergelombang masuk ke posisi-posisi penting di dunia politik dan pemerintahan," tanggapan Mahfud.
Menurutnya, dengan adanya kebijakan 2 menteri itu kini banyak kaum santri mengisi posisi di urusan pemerintah.
Baca juga: KPAI Nilai Peristiwa Siswi SMKN 2 Padang yang Dipaksa Kenakan Jilbab Berpotensi Langgar Hak Anak
"Kebijakan penyetaraan pendidikan agama dan pendidikan umum oleh dua menteri itu sekarang menunjukkan hasilnya."
"Pejabat-pejabat tinggi di Kantor-kantor pemerintah, termasuk di TNI dan POLRI, banyak diisi oleh kaum santri."
"Mainstream keislaman mereka adalah Wasarhiyah Islam: moderat dan inklusif," ujar Mahfud.
2. Tanggapan Nadiem Makarim
Nadiem Makarim ikut menyoroti kasus intoleransi aturan wajib berjilbab bagi siswi non-muslim di SMKN 2 Padang.
Nadiem memberikan responsnya dan meminta pemerintah daerah (Pemda) segera menindaklanjuti kasus intoleransi tersebut.
Bahkan, pihaknya juga meminta agar pemda tak segan untuk memberi sanksi tegas hingga pembebasan jabatan bila pihak yang terlibat terbukti bersalah.
Hal itu ia sampaikan melalui video yang diunggah di akun Instagram pribadi-nya @nadiemmakarim pada Minggu (24/1/2021).
"Saya mengapresiasi gerak cepat pemda terhadap pihak-pihak yang terbukti melakukan pelanggaran."
"Selanjutnya, saya meminta agar pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku, segera memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat."
"Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan, agar permasalahan ini menjadi pembelajaran kita bersama kedepannya," kata Nadiem Makarim.
Nadiem menjelaskan, tindakan tersebut tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Misalnya bertentangan dengan Pasal 55 UU 39/1999 tentang HAM dan Pasal 4 ayat 1 UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Baca juga: Akhir Polemik Siswi Non Muslim di Padang Wajib Pakai Jilbab
Serta, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 45 tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
"Pakaian seragam khas sekolah diatur oleh masing-masing sekolah dengan tetap memperhatikan hak setiap warga negara untuk tetap menjalankan keyakinan agamanya masing-masing."
"Maka sekolah tidak boleh sama sekali membuat peraturan atau imbauan kepada peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah."
"Apalagi jika tidak sesuai dengan agama atau kepercayaan peserta didik," ujar Nadiem dengan tegas.

Baca juga: Kemendikbud Dukung Disdik Sumbar Tindak Oknum Sekolah yang Mewajibkan Siswi Nonmuslim Berjilbab
Hal tersebut, lanjut Nadiem, merupakan bentuk intoleransi atas keberagaman.
Sehingga, bukan saja melanggar peraturan perundang-undangan melainkan juga nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan.
"Untuk itu, pemerintah tidak akan mentolerir guru dan kepala sekolah yang melakukan pelanggaran dalam bentuk intoleransi tersebut," tegas Nadiem.
(Tribunnews.com/Shella/Maliana)