UU Cipta Kerja
MK Terima Gugatan Omnibus Law UU Cipta Kerja dari Buruh dan Karyawan Kontrak
MK menerima permohonan uji materi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dari seorang buruh dan karyawan kontrak.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menerima permohonan uji materi Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dari seorang buruh dan karyawan kontrak.
Kedua orang tersebut berasal dari Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS).
"Iya, sudah ada 2 permohonan diajukan. Silakan cek dan cermati permohonannya di laman MK, mkri.id," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono kepada Tribunnews.com, Selasa (13/10/2020).
Baca juga: Dibongkar Isi Percakapan WA 8 Pentolan KAMI, Polisi: Pantas di Lapangan Terjadi Anarki
Penggugat pertama adalah Dewa Putu Reza yang mengaku sebagai karyawan kontrak di sebuah perusahan.
Kemudian penggugat kedua ialah Ayu Putri yang mengaku sebagai freelance.
Fajar mengatakan, permohonan dari dua masih diproses untuk diregistrasi.
Selanjutnya, MK akan menggelar sidang pendahuluan paling lama 2 pekan sejak permohonan teregistrasi.
Baca juga: Massa Tutup Jembatan Jatibaru Tanah Abang Setelah Dipukul Mundur Polisi Dari Perempatan BI
"Paling lama 14 hari sudah harus diagendakan sidang pertama, paling lama ya itu. Berarti bisa lebih cepat dari itu," kata Fajar.
Gugatan pertama yang diajukan Dewa Putu Reza dan Ayu Putri telah diterima panitera MK dengan nomor 2034/PAN.MK/X/2020.
Dalam gugatannya, Reza dan Ayu mengajukan gugatan terhadap Pasal 59, Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 79 ayat (2) huruf b, dan Pasal 78 ayat (1) huruf b klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja.
Menurut Dewa dan Ayu, pasal-pasal yang digugat mengatur mengenai penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), penghapusan ketentuan minimal dalam memberikan pesangon, serta penghapusan ketentuan istirahat mingguan dan penambahan waktu jam lembur yang mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil bagi para pekerja.
"Dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja yang meniadakan batas waktu PKWT telah menghalangi pekerja kontrak untuk dapat menjadi pekerja tetap yang berhak atas pemberian pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak," ujar Reza dan Ayu dalam permohonannya.
Sehingga keduanya meminta MK agar menyatakan pasal-pasal yang digugat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sementara permohonan kedua diajukan DPP FSPS yang diwakili Ketua Umumnya Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafiz.
Berkas permohonan mereka diterima panitera MK dengan nomor 2035/PAN.MK/X/2020.
Mereka menggugat Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 klaster Ketenagakerjaan UU Ciptaker.
DPP FSPS menilai pasal-pasal tersebut telah mengubah ketentuan PKWT, upah minimum, pesangon, uang penghargaan, dan uang penggantian hak.
Mereka menilai berubahnya ketentuan tersebut merugikan buruh.
Sehingga, DPP FSPS meminta MK agar pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Sebelumnya, sejak disahkan pada 5 Oktober, Omnibus Law mendapat protes yang membuat munculnya demo besar-besaran di berbagai daerah.
Puncaknya pada 8 Oktober, demo menolak Omnibus Law di sejumlah daerah berujung ricuh dan menimbulkan kerusakan fasilitas umum.
Merespons gelombang penolakan terhadap Omnibus Law, Presiden Jokowi meminta masyarakat yang tak puas bisa mengajukan gugatan ke MK.