Kamis, 2 Oktober 2025

UU Cipta Kerja

Kritik Fadli Zon dan Fahri Hamzah Terhadap UU Cipta Kerja yang Baru Disahkan DPR

Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI, Senin (5/10/2020) memicu gejolak di masyarakat.

Penulis: Adi Suhendi
Tribunnews.com
Fadli Zon dan Fahri Hamzah 

Dalam catatannya, kata Fadli, ada beberapa isu yang memang mengusik rasa keadilan buruh.

Misalnya, skema pesangon kepada pekerja yang di-PHK diubah dari sebelumnya 32 bulan upah, kini menjadi 25 bulan upah.

Kemudian, penghapusan UMK (Upah Minimum Kabupaten) menjadi UMP (Upah Minimum Provinsi).

Padahal, kata Fadli, menurut data lapangan, besaran UMP pada umumnya adalah di bawah UMK.

Baca: Mendagri : UU Cipta Kerja Permudah Masyarakat Buka Usaha di Daerah

"Sehingga, alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruh, omnibus law ini belum apa-apa sudah akan menurunkan kesejahteraan mereka," ujar Fadli.

Selain itu, Fadli juga melihat hak-hak pekerja yang sebelumnya dijamin, seperti hak istirahat panjang, uang penghargaan masa kerja, serta kesempatan untuk bekerja selama 5 hari dalam seminggu, kini tidak ada lagi.

"Sehingga, secara umum, omnibus law ini memang tak memberi rasa keadilan, bukan hanya buat buruh, tapi juga buat masyarakat secara umum," ucapnya.

Terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah menilai pembuatan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja melanggar konstitusi.

Sehingga, kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan seluruh isi dari Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.

Baca: Jangan Dipelintir Ya, Pekerja Habis Masa Kontrak Dapat Kompensasi di UU Cipta Kerja

"Omnibus law itu, otomatis jelas melanggar konstitusi karena prinsipnya dalam negara demokrasi itu, merampas hak undang-undang, itu tidak boleh," kata Fahri dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (7/10/2020).

"Pembuatan undang-undang harus mengacu pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai Perppu dan diuji di DPR," sambung Fahri.

Menurut, UU Cipta Kerja bukan undang-undang hasil revisi atau amandemen, melainkan undang-undang baru yang dibuat dengan menerobos banyak undang-undang.

Selain melangggar konstitusi, kata Fahri, UU Cipta Kerja juga merampas hak publik dan rakyat, sehingga jelas-jelas melanggar HAM.

"Ini bukan open policy, tapi legal policy. Undang-Undang Cipta Kerja dianggap oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat, sehingga berpotensi dibatalkan secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi," kata Fahri.

Mantan Wakil Ketua DPR Periode 2014-209 itu mengaku, tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat hukum dan tata negara Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang lebih mendorong pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang, daripada mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan teknis.

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved