Legislator PKS Minta BNPB Perbanyak Kampanye Mitigasi Bencana
Anggota Komisi VIII DPR Bukhori Yusuf minta BNPB memperbanyak kampanye mitigasi bencana karena pentingnya penyadaran publik terkait bencana.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VIII DPR RI fraksi PKS Bukhori Yusuf meminta Badan Nasional Penanggulanga Bencana (BNPB) memperbanyak kampanye mitigasi bencana.
Bukhori menganggap penyadaran publik terkait bahaya bencana merupakan instrumen penting untuk menghadirkan penanganan bencana yang efektif dan efisien oleh BNPB karena didukung oleh keterlibatan publik.
Sehingga, fungsi pendidikan dan pelatihan secara masif kepada masyarakat oleh BNPB mutlak diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja dengan Kepala BNPB Doni Monardo di Gedung DPR Jakarta, Selasa (22/9/2020).

"Faktanya adalah, masyarakat kita sebenarnya paham terhadap ancaman bencana, tetapi kurang sadar. Karena itu, penyadaran publik perlu dilakukan dari segala sisi dan itu butuh waktu. BNPB tidak bisa bermain sendiri, Pemda juga tidak bermain sendiri, terlebih ketika tujuan dari program tersebut menyasar grassroot” kata Bukhori.
Dalam Rencana Kerja dan Anggaran BNPB TA 2021, program kampanye dan edukasi publik tentang mitigasi bencana hanya tersedia 6 layanan dan berlokasi di pusat.
Program ini berada di bawah Deputi Pencegahan Direktorat Mitigasi.
Baca: Empat Langkah OJK Dukung Kebijakan Pemerintah dalam Mitigasi Covid-19
Sementara itu, Bukhori juga mempertanyakan peran BNPB selaku Satgas Covid-19 dalam mendorong Rumah Sakit (RS) untuk memberikan perhatian khusus dalam melayani pasien Covid-19 yang mengidap penyakit penyerta (komorbid).
Pasalnya, ia menilai di sejumlah RS masih banyak didapati belum adanya atensi khusus terhadap pasien Covid-19 dengan penyakit penyerta.
Padahal, lanjutnya, penanganan pasien komorbid lebih kompleks sehingga membutuhkan penanganan RS dengan prosedur yang lebih hati-hati.
"Ironisnya, sekitar 90 persen pasien Covid-19 yang meninggal merupakan pasien yang mengidap penyakit penyerta (komorbid). Dalam salah satu kasus yang saya temukan, ada RS yang tidak memiliki persiapan memadai alias dipaksakan. Misalnya, terdapat satu RS dengan 200 kamar yang semua terisi penuh, namun hanya dilengkapi oleh satu dokter anastesi di IGD. Ini sangat miris sekali. Sebab itu, saya meminta perlu adanya atensi dan kebijakan khusus bagi pasien komorbid ini," ujarnya.