Minggu, 5 Oktober 2025

Kemerdekaan dan Pancasila Tak Bisa Dipisah, Ibarat Dua Sisi Mata Uang

Basarah memaknai kemerdekaan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negaranya ibarat dua sisi mata uang.

Editor: Johnson Simanjuntak
Tribunnews.com/Seno Tri Sulistiyono
Ahmad Basarah 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jelang 75 tahun kemerdekaan Indonesia, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menekankan kemerdekaan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara, keduanya tak terpisahkan.

Karena memisahkan Pancasila dengan kemerdekaan bangsa Indonesia itu sama dengan ingin menganulir kemerdekaan bangsa Indonesia yang susah payah diperoleh para pejuang dan pendiri bangsa.

Basarah memaknai kemerdekaan Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negaranya ibarat dua sisi mata uang.

Di satu sisi, kemerdekaan Indonesia dan Pancasila seolah diproses dan disepakati oleh para pendiri bangsa dalam satu tarikan nafas.

"Tetapi di sisi lain, puncak peristiwa kemerdekaan bangsa Indonesia lepas dari hegemoni kolonialisme itu bukan peristiwa yang terjadi tiba-tiba. Itu adalah suatu proses panjang yang diwarnai satu momentum ketika para pendiri bangsa kita memikirkan dasar negara apa yang akan mengawal Indonesia merdeka," ujar Basarah.

"Dengan demikian, menurut saya, kemerdekaan bangsa Indonesia is (adalah, - red) Pancasila dan Pancasila adalah kemerdekaan bangsa Indonesia," imbuhnya.

Oleh karenanya, penting bagi bangsa Indonesia untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus. Ibaratnya kemerdekaan itu bukan sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit, namun wujud kristalisasi perjuangan para pendiri bangsa.

"Kita cuma mendapatkan warisan dan ini tidak boleh kita gadaikan, tidak boleh kita jual kepada bangsa asing, atau kita gonta ganti dasar falsafahnya. Karena kalau kita rusak Indonesia hari ini, maka yang akan rugi adalah anak cucu kita di masa mendatang. Itulah gunanya kita memperingati 75 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia pada hari Senin, 17 Agustus yang akan datang," kata dia.

Momentum 75 tahun kemerdekaan Indonesia terjadi ketika pandemi Covid-19 melanda. Pandemi Covid-19 menurutnya akan berdampak kepada permasalahan ekonomi yang berujung pada persoalan pangan.

Deputi Bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Dr FX Adji Samekto menilai masyarakat justru harus mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila guna menghadapinya. Salah satunya dengan cara fokus membicarakan kedaulatan pangan di Indonesia.

Baca: Tanda Kehormatan untuk Ahmad Basarah, Pengamat: Layak karena Kontribusi Meneliti Pancasila

Dalam konteks pangan, Adji mengatakan tidak bisa hanya berbicara mengenai pangan semata, namun juga pertanian dan peternakan. Karenanya perlu ada semisal pembukaan lahan pertanian baru sebagai salah satu langkah konkrit.

"Nah dalam konteks kedaulatan pangan inilah sebenarnya wujud bagaimana kita mengimplementasikan Pancasila dalam konteks keadilan sosial dan peri kemanusiaan. Jadi ini konkritisasi," kata Adji.

Sementara Basarah melihat masalah di pandemi bisa dientaskan dengan bergotong royong seperti tertera di Pancasila. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa misalnya, dimana mengajarkan sesama umat beragama untuk saling membantu, bersedekah, beramal dan sebagainya.

Bahkan ada hasil survei lembaga amal dunia yang menyebutkan bangsa Indonesia adalah bangsa yang terkenal paling dermawan sedunia.

"Artinya memang jiwa sosial, jiwa gotong royong bangsa Indonesia ini luar biasa. Dalam pandemi Covid-19 ini bangsa Indonesia gotong royong, bantu satu sama lain tanpa membedakan apa agamanya, apa sukunya. Nah saya kira modal sosiologis, ideologis ini adalah prasyarat bagi pak Jokowi dan seluruh pemerintahan Republik Indonesia pusat dan daerah untuk bersama-sama menghadapi pandemi Covid-19 ini," ujar Basarah.

Di sisi lain, Basarah juga menyoroti tantangan yang dihadapi Pancasila seiring berjalannya waktu. Menurutnya saat ini bangsa Indonesia tengah menuai badai sebagai akibat dari pembubaran BP7, dihapuskannya P4, revisi UU Sisdiknas hingga penghapusan mata pelajaran wajib Pancasila.

Generasi 1990-an disebut politikus PDIP itu sebagai generasi yang terimbas. Generasi itu cenderung menganggap nilai-nilai Pancasila sebagai sesuatu yang tidak esensi atau tidak pokok.

Bahkan sejumlah ideologi transnasional, mulai dari komunisme, liberalisme kapitalisme hingga ekstremisme keagamaan begitu derasnya masuk dan bisa bekerja secara sistematis di Tanah Air.

Menurutnya hingga pembentukan UKPPIP di 2017 dan BPIP di 2018, terdapat rentang waktu sekitar 20 tahun negara abai membangun mental ideologi bangsanya.

"Oleh karena itu kita patut mendukung political will Pak Jokowi membentuk BPIP, agar negara hadir membangun mental ideologi bangsanya untuk membentengi bangsa Indonesia dari ideologi komunisme, liberalisme kapitalisme dan ekstremisme," jelas Basarah.

Masuknya ideologi transnasional tak pelak menjadikan tugas BPIP kian berat ke depannya. Namun Adji mengatakan pihaknya memaknai tantangan tersebut ke dalam lima pekerjaan rumah.

Pertama, BPIP berupaya menjawab tantangan bagaimana bisa menggunakan teknologi informasi untuk membumikan atau mengintegrasikan Pancasila dalam kehidupan terutama generasi milenial.

Kedua, terkait dengan materi, dan ketiga terkait dengan metode. Adji mengatakan materi yang disajikan haruslah tepat sasaran namun mengasyikkan. Metode pun harus menarik bagi generasi milenial.

Sementara pekerjaan rumah keempat berkaitan dengan konstruksi pikir milenial. Dimana anak-anak mempunyai kontruksi pikir sendiri yang beranggapan mereka subyek bukan obyek. Karena itulah penyampaian materi Pancasila juga harus sesuai atau cocok dengan cara pikir mereka.

"Kelima tantangan terbesarnya soal globalisasi. Seperti yang disampaikan pak Basarah tadi, tentang ideologi transnasional. Itu juga menjadi PR besar kami untuk bagaimana menyajikan Pancasila ini supaya menjadi lebih menarik, itu lebih kongkrit, lebih mengena dalam kehidupan kita," kata Adji.

Sejalan dengan itu, Basarah menekankan Indonesia harus berpijak pada falsafah dan ideologi bangsanya sendiri, dalam hal ini Pancasila.

Dalam sejarahnya, kata dia, tidak ada bangsa yang berhasil menjadi bangsa yang besar jikalau bangsa itu tidak berpijak pada falsafah bangsanya sendiri.

Agar falsafah dan ideologi bangsa kokoh di tengah bangsa sendiri, Basarah mengatakan bangsa Indonesia harus menganggap Pancasila itu adalah suatu nilai kebenaran yang final.

"Jadi (Pancasila) kita yakini, ada belief, ada kepercayaan bahwa Pancasila ini adalah ideologi bangsa Indonesia. Tak satupun diantara bangsa Indonesia yang mempersoalkan kembali kebenaran Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara kita sejak 18 Agustus 45 Pancasila itu disepakati oleh para pendiri bangsa kita," tegasnya.

Kemudian, bangsa Indonesia juga harus memahami Pancasila, dan untuk memahami maka mereka harus mempelajarinya. Karenanya penghapusan mata pelajaran Pancasila hingga penghapusan penataran-penataran sosialisasi Pancasila adalah sesuatu yang tidak selaras dengan kebutuhan menjadikan nilai-nilai Pancasila terinternalisasi.

Setelah diyakini, dipahami, barulah Pancasila bisa diamalkan. Menurut Basarah bukan tanggung jawab BPIP semata untuk mensukseskan proses internalisasikan Pancasila. Namun semua pihak bertanggung jawab dalam membumikan Pancasila.

"Kami berharap revisi UU Sisdiknas di Komisi X DPR, kebetulan saya di Komisi X, maka pelajaran Pancasila harus masuk lagi dalam mata pelajaran wajib. Sehingga seluruh anak didik kita itu diinternalisasikan nilai-nilai Pancasila, kemudian setelah diinternalisasikan sekolah-sekolah formal, informal, di instansi-instansi pemerintah, lalu kemudian para pemimpin bangsa memberikan suri tauladan bagaimana Pancasila itu bekerja, berpraktek di tengah masyarakatnya," kata Basarah.

Yang tak kalah penting, Ahmad Basarah mengatakan pembumian Pancasila tidak boleh tergantung dengan selera rezim. Jika demikian, maka pembubaran BP7 di era lengsernya Soeharto akan kembali terulang. Bukan tak mungkin pula BPIP akan dibubarkan ketika rezim Jokowi selesai.

Padahal BPIP dipercaya Basarah sebagai sesuatu yang niscaya dan diperlukan bangsa Indonesia, bukannya kepentingan dari suatu rezim.

"Karena itu menjadi beralasan kalau payung hukum BPIP ini jangan payung hukum Perpres. Dulu BP7 dibubarkan oleh presiden berikutnya karena payung hukum BP7 itu Perpres, tergantung selera presiden. Tapi kalau payung hukum BPIP dan Pembinaan Ideologi Pancasila itu oleh Undang-Undang, setidak-tidaknya kalau presiden berikutnya mau mengganti atau membubarkan, dia harus tanya dulu ke DPR. Karena payung hukumnya adalah Undang-Undang," kata dia.

"Jadi dengan demikian, bagi saya Pancasila ini adalah ideologi yang mempersatukan bangsa Indonesia. Banyak negara lain gagal mengelola perbedaannya, padahal tidak semajemuk bangsa Indonesia. Tapi kita bisa mengelola perbedaan menjaga kerukunan, persatuan karena kita punya Pancasila. Maka 75 tahun Indonesia merdeka marilah bukan hanya kita rawat, bukan hanya kita jaga, tapi kita amalkan Pancasila ini dalam kehidupan berbangsa dan negara kita," pungkas Ahmad Basarah.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved