Selasa, 30 September 2025

Opini Tamu

Bencana Tiap Seratus Tahun dan New Normal

Situasi akibat Pandemi Covid-19 hari ini juga sudah terjadi 100 tahun silam. Dunia masuk dalam sebuah medan baru, dan kemudian menjadi new normal

Editor: Yudie Thirzano
Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha
Jendela Hotel berbentuk hati, tampak terlihat di Hotel Grand Hyatt, Bundaran HI, Jakarta Pusat, sebagai kampanye aksi solidaritas ?Love Light Heart?, Minggu (12/4/2020). Aksi tersebut sebagai bentuk menebar semangat cinta di tengah pandemi COVID-19 dan bentuk ungkapan cinta terhadap perjuangan tenaga medis dan orang-orang di garis terdepan dalam penanganan COVID-19. 

Dari situlah ia kemudian menulis cerita dengan tokoh utama seorang monster bernama Frankstein.

Seorang yang lain, di Jerman, juga bingung melihat kereta-kereta yang lumpuh. Padahal manusia butuh bergerak ke sana ke mari lebih cepat. Kuda-kuda mati.

Maka, ia pun mengutak-atik nalarnya, mereka-reka akalnya, mengutak-atik imajinya, menghubung-hubungkan, lalu menemukan alat transportasi, yang sekarang kita kenal sebagai sepeda. Nama orang itu Karl von Drais.

Sepeda ciptaan Drais ini tanpa rantai atau kayuh. Hanya ada dua roda di depan dan belakang. Jadi, tenaga penggeraknya ya kaki-kaki si penunggangnya. Maklumlah, kala itu mungkin imajinasinya masih dipengaruhi alat transportasi kereta yang saban hari dilihatnya dan kemudian tiba-tiba hilang. Roda-roda, kaki-kaki kuda yang kuat, dudukan atau kursi. Sesimpel itu. Baru kemudian dalam perkembangannya sepeda dikayuh dengan pedal, lalu berkembang lagi dengan rantai yang membuatnya lebih laju.

Bentang daratan yang dicatat mengalami penderitaan justru Eropa dan Amerika. Dengan kondisi cuaca empat musim, musim dingin menjadi satu-satunya musim sepanjang tahun. Dan itu tidak hanya terjadi dalam setahun, tapi tiga. Memang yang terparah adalah di tahun 1816, setahun setelah Tambora mbledhos.

Kondisi cuaca buruk itu pula yang membuat pasukan Napoleon kocar-kacir saat menghadapi Austria/Prusia dan Inggris, yang membuatnya menyerah kalah gara-gara banyak prajuritnya yang mati kedinginan di medan tempur yang beku. Kekalahan Napoleon, mengubah peta politik Eropa secara drastis.

Yang dialami Shelley dengan imajinasinya, atau Drais dengan otak mekanikanya, adalah jawaban atas keterbelengguan manusia pada satu tempat dalam jangka waktu lama menurut ukuran normal.

Keterpasungan pada kondisi alam, yang kemudian memaksa orang untuk berimajinasi dan berkreasi.

Mudah-mudahan setelah pagebluk Covid-19 ini, ada orang yang setara Shelley atau Drais, menciptakan sesuatu yang mengubah cara berpikir dan cara bekerja manusia setelah kondisi menjadi seperti sedia kala. Sementara yang dialami Napoleon adalah kekalahan yang tragis. Kekalahan yang dipengaruhi oleh ketidaktahuan membaca cuaca yang berubah drastis karena Tambora. Kekalahan yang membuat situasi dunia masuk dalam sebuah medan baru, dan kemudian menjadi normal. New Normal.

Hari-hari ini, kita sedang dipahamkan tentang New Normal itu. Barangkai yang merancang istilah itu pun belum tahu apa dan bagaimana kehidupan New Normal dalam praktik sehari-hari ke depannya. Itu pun wajar belaka. Semua masih berusaha gagap-gagap. Rogoh-rogoh. Menerka-nerka apa yang bakal terjadi ke depan ini. Seperti orang buta menerka-nerka apa yang berada di depannya.

Tapi jika kita menengok sedikit ke belakang, ke zaman pandemi flu spanyol, atau ke zaman letusan Tambora, pandemi ini akan mengubah secara revolusioner, kalau tidak mau disebut drastis, cara orang bekerja, cara orang memproduksi barang dan jasa, cara orang berkomunikasi, cara orang hidup. Mungkin juga lansekap sosial dan politik atau sok kerennya pakai istilah geopolitik.

Kecuali mereka, kita, tak mau belajar dari apa yang terjadi di masa silam.

*Alois Wisnuhardana, Penulis adalah Konsultan komunikasi, mantan Asisten Juru Bicara Presiden.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan